Padahal data dari Komnas HAM (2008) menyebutkan bahwa lebih dari 500.000 orang dibunuh, jutaan lainnya dipenjara tanpa proses hukum, dan hingga kini belum ada pengadilan HAM yang mengadili kejahatan tersebut.
Kita tentu ingin sejarah yang membangun. Tapi membangun tanpa kejujuran adalah seperti membangun rumah di atas pasir: rapuh dan tidak tahan guncangan.
Suara Korban Harus Didengar
Penulisan sejarah sejatinya adalah penulisan ulang terus-menerus. Bukan untuk mengganti fakta, melainkan untuk memberi ruang bagi suara-suara yang sebelumnya dibungkam. Dalam konteks Indonesia, ini termasuk korban kekerasan politik, etnis minoritas, perempuan korban konflik, dan kelompok adat yang dirampas tanahnya.
Sejarah yang jujur harus memberi ruang bagi mereka. Seperti kata Milan Kundera, "Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa."
Pelajaran dari Jerman dan Afrika Selatan
Beberapa negara menunjukkan bagaimana sejarah yang pahit justru menjadi fondasi untuk rekonsiliasi dan kemajuan:
Jerman secara terbuka mengakui dan mengajarkan kejahatan Nazi. Mereka tidak menggunakan "tone positif" untuk membingkai peristiwa Holocaust, melainkan mengembangkan museum, monumen, dan kurikulum sekolah yang menjelaskan tragedi ini secara detail, faktual, dan tanpa glorifikasi. Bahkan, pengingkaran terhadap Holocaust dianggap sebagai tindak pidana.
Afrika Selatan pasca-Apartheid membentuk Truth and Reconciliation Commission (TRC), yang memberi ruang bagi pelaku dan korban untuk bersuara. Sejarah apartheid tidak disamarkan demi harmoni, tetapi justru diangkat sebagai bagian penting dari penyembuhan nasional.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?
Alih-alih memaksakan "tone positif," pemerintah seharusnya:
- Membuka akses terhadap arsip sejarah, termasuk yang selama ini dikunci atas nama keamanan nasional.
- Mendukung riset sejarah independen, bukan hanya yang dikendalikan institusi pemerintah.
- Memberi ruang kepada korban dan keluarganya untuk menyampaikan narasi mereka.
- Melibatkan berbagai kalangan --- sejarawan, budayawan, aktivis HAM, dan masyarakat sipil --- dalam setiap proses penulisan sejarah.
- Menolak glorifikasi dan nasionalisme sempit yang menutup-nutupi fakta.