Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Indikator Politik: Mayoritas Percaya Ijasah Jokowi Asli

27 Mei 2025   17:40 Diperbarui: 27 Mei 2025   17:40 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Verifikasi Polri mengenai Ijasah Jokowi (Kompas)

Di tengah derasnya arus informasi, ketika kabar benar dan hoaks saling berkejaran dalam ruang digital yang hiruk-pikuk, satu hal meneduhkan muncul dari temuan Indikator Politik Indonesia: mayoritas masyarakat Indonesia masih memiliki nalar sehat dan daya kritis. Sekitar 66 persen responden dalam survei lembaga tersebut menyatakan tidak percaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) memalsukan ijazahnya. Sebuah angka yang tidak hanya menunjukkan dominasi persepsi, melainkan menegaskan bahwa publik tak mudah terperangkap dalam jaring propaganda yang kerap dibungkus dengan slogan "kebenaran alternatif".

Survei Ilmiah, Kesadaran Publik

Survei ini melibatkan 1.286 responden melalui wawancara telepon, menggunakan metode double sampling dengan margin of error 2,8 persen dan tingkat kepercayaan 93 persen. Dengan kata lain, hasil ini memiliki validitas yang kuat dan dapat dijadikan rujukan dalam membaca opini publik secara objektif. Temuan ini pun semakin menarik ketika responden dikelompokkan berdasarkan afliasi partai politik.

Di kalangan pendukung Gerindra, tercatat 78,8 persen menyatakan tidak percaya Jokowi memalsukan ijazah. Ironisnya, justru di basis mantan partai Presiden, PDIP, sebanyak 25,6 persen masih percaya dengan narasi ijazah palsu. Apakah ini bentuk friksi politik internal? Atau sekadar ekspresi kekecewaan terhadap arah politik yang dijalankan?

Antara Kritik Sehat dan Dendam Politik

Kasus dugaan ijazah palsu Jokowi sesungguhnya telah lama dibantah dengan data otentik dan verifikasi institusi resmi. Namun, sebagian kelompok tetap bersikukuh pada keyakinan sebaliknya, meski tanpa bukti kuat. Ini menandakan bahwa pada titik tertentu, kritik telah berubah wujud menjadi dendam politik.

Kritik memang bagian dari demokrasi. Tapi, kritik tanpa dasar atau berbasis asumsi justru menjadi racun dalam sistem demokrasi. Karl Popper, filsuf besar abad ke-20 pernah mengatakan, "Democracy cannot flourish when truth is degraded." Demokrasi tak bisa tumbuh dalam tanah yang penuh kebohongan.

Dalam konteks ini, mereka yang terus menggulirkan isu palsu---bahkan ketika fakta telah disodorkan berulang kali---seolah telah memutuskan untuk menutup mata dan telinga. Lebih dari sekadar berbeda pendapat, ini adalah bentuk penolakan terhadap kebenaran objektif. Hal ini menunjukkan adanya fenomena yang disebut confirmation bias: kecenderungan manusia untuk hanya menerima informasi yang sesuai dengan keyakinannya, dan menolak fakta yang bertentangan, sekuat apapun faktanya.

Demokrasi dan Ujian Rasionalitas Publik

Pelajaran paling penting dari temuan survei ini adalah bahwa demokrasi Indonesia masih memiliki akar rasionalitas. Sebagian besar rakyat tidak begitu saja termakan isu, tidak juga mudah digiring oleh narasi yang tidak berdasar. Artinya, ada harapan besar bahwa politik akal sehat masih hidup.

Namun di sisi lain, kita tak boleh menutup mata bahwa 19 persen responden percaya ijazah Jokowi palsu. Ini adalah tantangan serius. Bukan karena angka itu besar, tetapi karena menunjukkan bahwa sebagian masyarakat masih bisa dengan mudah dipengaruhi narasi yang dibangun di atas asumsi dan kebencian. Demokrasi tidak membutuhkan semua orang sepakat, tetapi demokrasi membutuhkan mayoritas rakyat yang rasional.

Untuk itu, pendidikan politik dan literasi digital menjadi hal yang tak bisa ditawar. Negara dan masyarakat sipil harus terus mendorong kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab. Sebab seperti kata Plato, "Kebebasan tanpa pendidikan akan melahirkan anarki." Dan anarki pikiran inilah yang kini mengintai ruang publik kita: ketika siapa saja bisa melempar tuduhan, dan siapa saja bisa viral tanpa perlu membawa fakta.

Kontestasi yang Belum Usai

Melihat korelasi antara kelompok yang mempercayai isu ijazah palsu dengan mereka yang kalah dalam Pemilu atau Pilpres sebelumnya, tampaknya tuduhan ini bukan murni kegelisahan atas keabsahan administratif, melainkan ekspresi kekalahan yang belum selesai diterima. Politik di Indonesia masih lekat dengan cara pandang zero-sum: kalah berarti hancur, menang berarti harus dihabisi.

Padahal demokrasi adalah sistem rotasi kekuasaan, bukan medan balas dendam. Sikap tidak legawa menerima hasil pemilu dan mencari pembenaran lewat tuduhan---bahkan yang absurd sekalipun---justru melemahkan sendi-sendi demokrasi itu sendiri. Seperti dikatakan John Stuart Mill, "The worth of a state in the long run is the worth of the individuals composing it." Maka negara ini hanya akan kuat jika rakyatnya mampu berpikir kritis dan menerima realitas, bahkan ketika realitas itu pahit.

Optimisme di Tengah Keraguan

Survei Indikator Politik Indonesia memberi kita dua wajah: wajah harapan dan wajah peringatan. Harapan bahwa mayoritas publik Indonesia masih rasional, objektif, dan tidak mudah digiring isu murahan. Dan peringatan bahwa selalu ada segmen masyarakat yang bisa terperangkap dalam jebakan narasi pasca-kekalahan politik.

Maka tugas kita hari ini adalah menjaga agar rasionalitas publik tetap menjadi jangkar demokrasi Indonesia. Bukan hanya dengan memerangi hoaks, tapi dengan menghidupkan budaya berpikir, berdiskusi dengan data, dan membangun kesadaran bahwa kritik bukanlah fitnah, dan oposisi bukanlah kebencian.

Karena pada akhirnya, seperti diingatkan Bung Hatta, "Demokrasi bukan hanya tujuan, tetapi juga cara." Maka kita harus menjaganya, bukan dengan teriakan dan kebencian, tetapi dengan akal sehat dan kejujuran berpikir.***MG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun