Untuk itu, pendidikan politik dan literasi digital menjadi hal yang tak bisa ditawar. Negara dan masyarakat sipil harus terus mendorong kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab. Sebab seperti kata Plato, "Kebebasan tanpa pendidikan akan melahirkan anarki." Dan anarki pikiran inilah yang kini mengintai ruang publik kita: ketika siapa saja bisa melempar tuduhan, dan siapa saja bisa viral tanpa perlu membawa fakta.
Kontestasi yang Belum Usai
Melihat korelasi antara kelompok yang mempercayai isu ijazah palsu dengan mereka yang kalah dalam Pemilu atau Pilpres sebelumnya, tampaknya tuduhan ini bukan murni kegelisahan atas keabsahan administratif, melainkan ekspresi kekalahan yang belum selesai diterima. Politik di Indonesia masih lekat dengan cara pandang zero-sum: kalah berarti hancur, menang berarti harus dihabisi.
Padahal demokrasi adalah sistem rotasi kekuasaan, bukan medan balas dendam. Sikap tidak legawa menerima hasil pemilu dan mencari pembenaran lewat tuduhan---bahkan yang absurd sekalipun---justru melemahkan sendi-sendi demokrasi itu sendiri. Seperti dikatakan John Stuart Mill, "The worth of a state in the long run is the worth of the individuals composing it." Maka negara ini hanya akan kuat jika rakyatnya mampu berpikir kritis dan menerima realitas, bahkan ketika realitas itu pahit.
Optimisme di Tengah Keraguan
Survei Indikator Politik Indonesia memberi kita dua wajah: wajah harapan dan wajah peringatan. Harapan bahwa mayoritas publik Indonesia masih rasional, objektif, dan tidak mudah digiring isu murahan. Dan peringatan bahwa selalu ada segmen masyarakat yang bisa terperangkap dalam jebakan narasi pasca-kekalahan politik.
Maka tugas kita hari ini adalah menjaga agar rasionalitas publik tetap menjadi jangkar demokrasi Indonesia. Bukan hanya dengan memerangi hoaks, tapi dengan menghidupkan budaya berpikir, berdiskusi dengan data, dan membangun kesadaran bahwa kritik bukanlah fitnah, dan oposisi bukanlah kebencian.
Karena pada akhirnya, seperti diingatkan Bung Hatta, "Demokrasi bukan hanya tujuan, tetapi juga cara." Maka kita harus menjaganya, bukan dengan teriakan dan kebencian, tetapi dengan akal sehat dan kejujuran berpikir.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI