Di tengah derasnya arus informasi, ketika kabar benar dan hoaks saling berkejaran dalam ruang digital yang hiruk-pikuk, satu hal meneduhkan muncul dari temuan Indikator Politik Indonesia: mayoritas masyarakat Indonesia masih memiliki nalar sehat dan daya kritis. Sekitar 66 persen responden dalam survei lembaga tersebut menyatakan tidak percaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) memalsukan ijazahnya. Sebuah angka yang tidak hanya menunjukkan dominasi persepsi, melainkan menegaskan bahwa publik tak mudah terperangkap dalam jaring propaganda yang kerap dibungkus dengan slogan "kebenaran alternatif".
Survei Ilmiah, Kesadaran Publik
Survei ini melibatkan 1.286 responden melalui wawancara telepon, menggunakan metode double sampling dengan margin of error 2,8 persen dan tingkat kepercayaan 93 persen. Dengan kata lain, hasil ini memiliki validitas yang kuat dan dapat dijadikan rujukan dalam membaca opini publik secara objektif. Temuan ini pun semakin menarik ketika responden dikelompokkan berdasarkan afliasi partai politik.
Di kalangan pendukung Gerindra, tercatat 78,8 persen menyatakan tidak percaya Jokowi memalsukan ijazah. Ironisnya, justru di basis mantan partai Presiden, PDIP, sebanyak 25,6 persen masih percaya dengan narasi ijazah palsu. Apakah ini bentuk friksi politik internal? Atau sekadar ekspresi kekecewaan terhadap arah politik yang dijalankan?
Antara Kritik Sehat dan Dendam Politik
Kasus dugaan ijazah palsu Jokowi sesungguhnya telah lama dibantah dengan data otentik dan verifikasi institusi resmi. Namun, sebagian kelompok tetap bersikukuh pada keyakinan sebaliknya, meski tanpa bukti kuat. Ini menandakan bahwa pada titik tertentu, kritik telah berubah wujud menjadi dendam politik.
Kritik memang bagian dari demokrasi. Tapi, kritik tanpa dasar atau berbasis asumsi justru menjadi racun dalam sistem demokrasi. Karl Popper, filsuf besar abad ke-20 pernah mengatakan, "Democracy cannot flourish when truth is degraded." Demokrasi tak bisa tumbuh dalam tanah yang penuh kebohongan.
Dalam konteks ini, mereka yang terus menggulirkan isu palsu---bahkan ketika fakta telah disodorkan berulang kali---seolah telah memutuskan untuk menutup mata dan telinga. Lebih dari sekadar berbeda pendapat, ini adalah bentuk penolakan terhadap kebenaran objektif. Hal ini menunjukkan adanya fenomena yang disebut confirmation bias: kecenderungan manusia untuk hanya menerima informasi yang sesuai dengan keyakinannya, dan menolak fakta yang bertentangan, sekuat apapun faktanya.
Demokrasi dan Ujian Rasionalitas Publik
Pelajaran paling penting dari temuan survei ini adalah bahwa demokrasi Indonesia masih memiliki akar rasionalitas. Sebagian besar rakyat tidak begitu saja termakan isu, tidak juga mudah digiring oleh narasi yang tidak berdasar. Artinya, ada harapan besar bahwa politik akal sehat masih hidup.
Namun di sisi lain, kita tak boleh menutup mata bahwa 19 persen responden percaya ijazah Jokowi palsu. Ini adalah tantangan serius. Bukan karena angka itu besar, tetapi karena menunjukkan bahwa sebagian masyarakat masih bisa dengan mudah dipengaruhi narasi yang dibangun di atas asumsi dan kebencian. Demokrasi tidak membutuhkan semua orang sepakat, tetapi demokrasi membutuhkan mayoritas rakyat yang rasional.