Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memaknai Ungkapan "Sedih" Jokowi: Antara Harga Diri, Loyalitas, dan Luka Lama Politik

24 Mei 2025   09:58 Diperbarui: 24 Mei 2025   09:58 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika seorang mantan presiden---yang selama satu dekade menjadi pemimpin negara ini---mengucapkan satu kata sederhana: "sedih," seharusnya itu cukup membuat bangsa ini berhenti sejenak dan merenung. 

Joko Widodo, atau yang akrab disapa Jokowi, bukanlah tipe pemimpin yang mudah larut dalam perasaan. Gaya komunikasinya yang lugas, ekspresinya yang cenderung datar, dan sikapnya yang jarang menunjukkan emosi kuat di depan publik, membuat pengakuan ini menjadi penanda penting dalam lanskap politik Indonesia pasca 2024.

Dua momentum yang memantik kesedihan itu muncul nyaris beriringan. Pertama, ketika Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, secara terbuka menanggapi isu ijazah palsu Jokowi dengan nada retoris: "Kok sulit amat, tunjukin aja." Kedua, ketika Jokowi menjelaskan alasan dirinya akhirnya memutuskan untuk menuntut sejumlah pihak yang selama bertahun-tahun menyebarkan tuduhan palsu terkait ijazahnya.

Namun, yang menarik bukan hanya apa yang dikatakan, tapi juga mengapa dan kapan ia mengatakannya.

---

Kesedihan Pertama: Luka dalam Hubungan Megawati-Jokowi

Megawati bukan sekadar ketua umum partai bagi Jokowi. Ia adalah tokoh kunci yang memberi tiket politik penting bagi Jokowi dari Solo ke Jakarta, lalu ke Istana Negara. Jokowi adalah kader PDIP, dan saat ia masih menjadi "anak bawang" dalam dunia politik nasional, Megawati-lah yang mengusung dan membelanya.

Tapi kini, di ujung masa jabatannya sebagai presiden dan setelah hubungan yang menegang sejak 2022 karena perbedaan arah politik, termasuk soal pencalonan Ganjar Pranowo, Megawati seolah "mencuci tangan" dari polemik yang menghantam Jokowi. Ucapan singkatnya terkait isu ijazah bisa ditafsirkan sebagai sikap lepas tanggung jawab, atau setidaknya sikap yang tidak memihak.

Bagi Jokowi, ini bukan sekadar soal ijazah. Ini soal loyalitas dan penghargaan atas sejarah bersama. Ia "sedih" karena tidak menyangka bahwa Megawati---yang tahu pasti rekam jejak dan kebenaran tentang dirinya---justru terkesan membiarkan tuduhan itu menggelinding, bahkan mungkin menambah bebannya dengan komentar sinis di ruang publik.

---

Kesedihan Kedua: Harga Diri yang Tak Bisa Lagi Ditawar

Jokowi selama ini dikenal sebagai sosok yang enggan menggunakan kekuasaan untuk membalas kritik atau menghukum lawan politik. Tapi ia menyatakan bahwa tuduhan palsu tentang ijazahnya sudah sangat melampaui batas. Selama bertahun-tahun, tuduhan ini berseliweran di media sosial, dibumbui teori konspirasi dan disebarkan oleh segelintir kelompok dengan motif politik.

Berdasarkan catatan hukum, Jokowi pernah memenangkan beberapa gugatan terkait ijazahnya, termasuk dari Bima Arya, alumni UGM yang membuktikan bahwa Jokowi memang lulusan Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980. Bahkan pihak UGM, SMA 6 Surakarta, hingga Kemendikbud telah berulang kali membantah tudingan ijazah palsu tersebut.

Namun karena terus digoreng dan dipakai untuk mendeligitimasi kepemimpinannya, Jokowi akhirnya memilih jalur hukum. Ia menyebut langkahnya ini bukan karena dendam, melainkan demi keadilan dan efek jera. Artinya, ini bukan sekadar membela diri, tapi juga membela martabat jabatan Presiden RI.

---

Di Balik Kata "Sedih": Simbol dari Politik yang Tak Punya Ingatan?

Pernyataan "sedih" ini bisa dimaknai lebih luas: tentang betapa cepat dan kejamnya dunia politik Indonesia melupakan jasa dan sejarah. Jokowi, yang pernah dielu-elukan sebagai simbol perubahan, kini malah menjadi target tuduhan yang tak berdasar. Bahkan orang-orang yang dahulu mendukungnya, kini justru berpaling atau diam seribu bahasa.

Apakah ini harga yang harus dibayar ketika Jokowi memilih jalur politik yang lebih pragmatis dan kadang bertentangan dengan idealisme partai? Atau ini akibat dari upaya membangun dinasti politik dan menjadikan putra sulungnya, Gibran Rakabuming, sebagai cawapres Prabowo Subianto?

Terlepas dari itu, "sedih" Jokowi adalah refleksi dari seorang tokoh yang menyadari bahwa loyalitas dalam politik sangat cair. Politik tidak mengenal nostalgia, apalagi utang budi. Ia bekerja berdasarkan kepentingan hari ini, bukan kenangan masa lalu.

---

Pelajaran yang Bisa Diambil: Tentang Dignitas dan Keteguhan

Apa yang bisa kita petik dari ungkapan sedih Jokowi ini?

Pertama, pentingnya menjaga harga diri dan kebenaran di tengah badai fitnah. Jokowi mungkin terlambat mengambil langkah hukum, tapi ia melakukannya dengan narasi yang jelas: demi menegakkan martabat, bukan sekadar membalas.

Kedua, jangan pernah mengandalkan loyalitas abadi dalam politik. Sejarah bisa berubah, teman bisa menjadi lawan, dan pendukung bisa menjadi pengkritik keras. Maka pemimpin harus selalu bersandar pada prinsip dan data, bukan sekadar jejaring kekuasaan.

Ketiga, ini adalah pengingat bahwa bahkan seorang presiden pun bisa menjadi korban hoaks. Di tengah era post-truth, pendidikan literasi digital dan tanggung jawab media menjadi sangat penting agar masyarakat tidak mudah termakan narasi palsu.

---

Jokowi, Setelah Istana

Kini, Jokowi bukan lagi presiden. Tapi ia tetap tokoh nasional yang akan terus menjadi sorotan. Ungkapan "sedih" darinya bukan hanya curahan hati, tapi juga sebuah kritik terhadap ekosistem politik dan sosial Indonesia hari ini.

Kita mungkin tak sepenuhnya sepakat dengan semua keputusan politik Jokowi selama dua periode pemerintahannya. Tapi ketika ia bicara soal kebenaran yang diputarbalikkan, soal kehormatan yang dihancurkan dengan fitnah, kita perlu mendengarnya. Bukan karena ia mantan presiden, tapi karena siapa pun bisa mengalami hal yang sama.

Dan barangkali, justru di balik kesedihan itu, ada panggilan untuk bangsa ini: untuk lebih waras, lebih adil, dan lebih ingat akan jasa serta sejarah. Karena bangsa yang besar, adalah bangsa yang tahu menghormati kebenaran, meski datang dari lawan sekalipun.***MG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun