Jokowi selama ini dikenal sebagai sosok yang enggan menggunakan kekuasaan untuk membalas kritik atau menghukum lawan politik. Tapi ia menyatakan bahwa tuduhan palsu tentang ijazahnya sudah sangat melampaui batas. Selama bertahun-tahun, tuduhan ini berseliweran di media sosial, dibumbui teori konspirasi dan disebarkan oleh segelintir kelompok dengan motif politik.
Berdasarkan catatan hukum, Jokowi pernah memenangkan beberapa gugatan terkait ijazahnya, termasuk dari Bima Arya, alumni UGM yang membuktikan bahwa Jokowi memang lulusan Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980. Bahkan pihak UGM, SMA 6 Surakarta, hingga Kemendikbud telah berulang kali membantah tudingan ijazah palsu tersebut.
Namun karena terus digoreng dan dipakai untuk mendeligitimasi kepemimpinannya, Jokowi akhirnya memilih jalur hukum. Ia menyebut langkahnya ini bukan karena dendam, melainkan demi keadilan dan efek jera. Artinya, ini bukan sekadar membela diri, tapi juga membela martabat jabatan Presiden RI.
---
Di Balik Kata "Sedih": Simbol dari Politik yang Tak Punya Ingatan?
Pernyataan "sedih" ini bisa dimaknai lebih luas: tentang betapa cepat dan kejamnya dunia politik Indonesia melupakan jasa dan sejarah. Jokowi, yang pernah dielu-elukan sebagai simbol perubahan, kini malah menjadi target tuduhan yang tak berdasar. Bahkan orang-orang yang dahulu mendukungnya, kini justru berpaling atau diam seribu bahasa.
Apakah ini harga yang harus dibayar ketika Jokowi memilih jalur politik yang lebih pragmatis dan kadang bertentangan dengan idealisme partai? Atau ini akibat dari upaya membangun dinasti politik dan menjadikan putra sulungnya, Gibran Rakabuming, sebagai cawapres Prabowo Subianto?
Terlepas dari itu, "sedih" Jokowi adalah refleksi dari seorang tokoh yang menyadari bahwa loyalitas dalam politik sangat cair. Politik tidak mengenal nostalgia, apalagi utang budi. Ia bekerja berdasarkan kepentingan hari ini, bukan kenangan masa lalu.
---
Pelajaran yang Bisa Diambil: Tentang Dignitas dan Keteguhan
Apa yang bisa kita petik dari ungkapan sedih Jokowi ini?
Pertama, pentingnya menjaga harga diri dan kebenaran di tengah badai fitnah. Jokowi mungkin terlambat mengambil langkah hukum, tapi ia melakukannya dengan narasi yang jelas: demi menegakkan martabat, bukan sekadar membalas.