Kedua, jangan pernah mengandalkan loyalitas abadi dalam politik. Sejarah bisa berubah, teman bisa menjadi lawan, dan pendukung bisa menjadi pengkritik keras. Maka pemimpin harus selalu bersandar pada prinsip dan data, bukan sekadar jejaring kekuasaan.
Ketiga, ini adalah pengingat bahwa bahkan seorang presiden pun bisa menjadi korban hoaks. Di tengah era post-truth, pendidikan literasi digital dan tanggung jawab media menjadi sangat penting agar masyarakat tidak mudah termakan narasi palsu.
---
Jokowi, Setelah Istana
Kini, Jokowi bukan lagi presiden. Tapi ia tetap tokoh nasional yang akan terus menjadi sorotan. Ungkapan "sedih" darinya bukan hanya curahan hati, tapi juga sebuah kritik terhadap ekosistem politik dan sosial Indonesia hari ini.
Kita mungkin tak sepenuhnya sepakat dengan semua keputusan politik Jokowi selama dua periode pemerintahannya. Tapi ketika ia bicara soal kebenaran yang diputarbalikkan, soal kehormatan yang dihancurkan dengan fitnah, kita perlu mendengarnya. Bukan karena ia mantan presiden, tapi karena siapa pun bisa mengalami hal yang sama.
Dan barangkali, justru di balik kesedihan itu, ada panggilan untuk bangsa ini: untuk lebih waras, lebih adil, dan lebih ingat akan jasa serta sejarah. Karena bangsa yang besar, adalah bangsa yang tahu menghormati kebenaran, meski datang dari lawan sekalipun.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI