2. Mutasi dokter pengajar tanpa koordinasi.
Beberapa dokter yang juga berperan sebagai pengajar di fakultas kedokteran dimutasi secara mendadak tanpa melibatkan institusi pendidikan. Hal ini dinilai merugikan dunia akademik.
3. Restrukturisasi rumah sakit pendidikan.
Perubahan struktur organisasi rumah sakit pendidikan yang tidak melibatkan institusi akademik dikhawatirkan akan merusak sinergi antara pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Pernyataan ini tidak hanya datang dari FKUI, tetapi kemudian juga diikuti oleh kampus-kampus kedokteran lain di berbagai daerah. Semuanya menilai, ada kecenderungan intervensi berlebihan dari pemerintah dalam urusan yang selama ini menjadi domain keilmuan dan profesi.
---
Kemenkes Membalas: Demi Rakyat, Bukan Intervensi
Menanggapi kritik tersebut, Menteri Kesehatan tidak tinggal diam. Dalam pernyataan resminya, Kemenkes menyebut bahwa kolegium kini justru lebih independen, karena tidak lagi berada di bawah organisasi profesi, tetapi langsung bertanggung jawab kepada negara melalui KKI. Bahkan, mereka mengklaim proses pemilihan kolegium kini melibatkan lebih banyak unsur tenaga kesehatan dan lebih transparan.
Terkait mutasi dokter, Kemenkes menyebut hal itu merupakan bagian dari reformasi sistem kesehatan nasional. Mutasi dilakukan untuk pemerataan dan peningkatan layanan, bukan untuk melemahkan institusi pendidikan.
Namun, tetap saja, perbedaan cara pandang ini menimbulkan gesekan. Kalangan akademisi merasa ruang mereka dikerdilkan, sementara pemerintah yakin bahwa intervensi ini justru untuk memperbaiki sistem.
---
Titik Temu yang Harus Dicari
Konflik ini sejatinya bukan hanya tentang siapa yang berwenang, tapi lebih dalam dari itu: soal arah pembangunan sistem kesehatan nasional. Di satu sisi, pemerintah ingin memperluas akses layanan kesehatan dan menjamin kualitas dokter yang merata di seluruh Indonesia. Di sisi lain, akademisi dan profesi ingin menjaga kualitas dan independensi pendidikan serta kompetensi medis.