Ketika api kontroversi tentang keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo mulai meredup karena bukti-bukti hukum yang tak memadai, Roy Suryo kembali meniup bara itu. Kali ini, mantan Menpora dan figur publik yang gemar beropini soal teknologi ini, mengusulkan agar proses uji forensik ijazah Jokowi dilakukan di Singapura. Bukan di laboratorium forensik kepolisian Indonesia, bukan oleh ahli dari universitas-universitas ternama dalam negeri, melainkan di luar negeri. Alasannya? Supaya "lebih independen".
Namun, pertanyaan kritis pun muncul: benarkah ini murni soal independensi? Atau hanya bagian dari strategi narasi baru yang sedang disiapkan, yakni bahwa para penegak hukum di Indonesia tidak independen, dan Roy Suryo serta kawan-kawan adalah korban kriminalisasi?
Laporan Ijazah Palsu yang Berlarut
Kasus dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi bermula dari laporan yang diajukan sejumlah pihak ke pihak kepolisian dan Mahkamah Konstitusi. Mereka menuduh bahwa Jokowi tidak pernah lulus dari Universitas Gadjah Mada (UGM), kampus tempat Presiden menempuh pendidikan S1-nya. Namun, UGM sendiri sudah berkali-kali membantah tuduhan tersebut. Rektor, dekan, dosen hingga arsip akademik menyatakan keabsahan ijazah itu. Bahkan, data alumni UGM menunjukkan bahwa Jokowi memang pernah terdaftar dan lulus dari sana.
Meski sudah berulang kali dibantah, para pelapor tetap mendorong proses hukum berjalan. Kini, kasus tersebut memasuki tahap pemanggilan saksi dan terlapor oleh kepolisian. Artinya, mereka yang menuduh, termasuk Roy Suryo, harus bersiap menghadapi konsekuensi hukum atas laporan yang mereka buat.
Uji Forensik di Singapura: Alasan yang Dipertanyakan
Di sinilah muncul manuver baru dari Roy Suryo: permintaan agar uji forensik ijazah Jokowi dilakukan di Singapura. Ia menyatakan bahwa forensik luar negeri akan lebih netral dan tidak berpihak. Tapi mengapa Singapura? Mengapa tidak laboratorium forensik internasional yang benar-benar independen seperti di Jerman, Belanda, atau Jepang? Singapura---meskipun berstandar tinggi---secara geografis, ekonomi, dan diplomatik sangat dekat dengan Indonesia.
Alasan "independensi" tampaknya bukan alasan utama. Ini lebih menyerupai bentuk distrust atau ketidakpercayaan terhadap lembaga hukum di Indonesia, sekaligus siasat membangun narasi bahwa lembaga penegak hukum di negeri ini sudah tidak netral. Dalam dunia politik Indonesia, ini bukan kali pertama strategi semacam ini dimainkan.
Indonesia Punya Ahli Forensik Berkualitas Dunia
Permintaan uji forensik di luar negeri secara tidak langsung meremehkan kapabilitas ahli forensik dalam negeri. Padahal, Indonesia sudah berkali-kali menangani kasus-kasus besar dengan akurasi forensik tinggi. Contohnya, pengungkapan kasus mutilasi oleh Sugianto (2021), rekonstruksi wajah korban dalam kecelakaan Sriwijaya Air SJ182, hingga analisis data forensik dalam kasus terorisme.
Lembaga seperti Puslabfor Bareskrim Polri memiliki reputasi yang mumpuni. Bahkan, beberapa tenaga ahli forensik Indonesia sudah diakui oleh asosiasi forensik internasional dan rutin terlibat dalam pelatihan regional Asia Tenggara.