Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Menteri HAM Usul Pendekatan Militeristik ala Dedi Mulyadi Diperluas

7 Mei 2025   10:36 Diperbarui: 7 Mei 2025   11:35 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deddy Mulyadi (tribunnews.com)

Ketika kontroversi seputar kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengirim anak-anak "nakal" ke barak militer belum juga reda, publik dikejutkan oleh pernyataan Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai yang menyebut bahwa pendekatan tersebut tidak melanggar HAM---bahkan layak untuk diperluas secara nasional.

Pernyataan ini sontak menyulut perdebatan publik. Bagaimana bisa seorang menteri yang memegang amanah untuk menjaga prinsip-prinsip hak asasi justru mendukung pendekatan militeristik yang diterapkan pada anak-anak? Tidakkah ini mencerminkan kekeliruan memahami esensi perlindungan anak dan batas-batas wewenang seorang pejabat negara?

Pendekatan Militeristik dalam Pendidikan: Mengapa Bermasalah?

Di mata sebagian masyarakat, tindakan Dedi Mulyadi dianggap tegas dan solutif. Namun dalam perspektif pendidikan dan hak anak, pendekatan semacam itu menyimpan banyak persoalan serius.

Pendidikan militer berakar dari prinsip hierarki, ketaatan mutlak, dan penyeragaman perilaku. Disiplin di dalamnya dibentuk melalui tekanan, hukuman fisik dan mental, serta sistem komando yang tidak memberi ruang pada ekspresi personal. Sebaliknya, pendidikan anak berlandaskan pada prinsip tumbuh-kembang, partisipasi, penghargaan atas keunikan individu, dan pendekatan psikologis yang lembut namun tegas.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pendekatan militer dalam pembinaan anak rawan menimbulkan trauma psikologis, merusak kepercayaan diri, dan menciptakan ketakutan alih-alih kesadaran moral. UNICEF dalam laporannya menyatakan bahwa pendekatan koersif dalam mendisiplinkan anak justru memperparah perilaku menyimpang dalam jangka panjang.

Menteri HAM vs Komnas HAM: Dua Suara dari Negara

Pernyataan Menteri HAM Natalius Pigai bahwa "program Dedi tidak melanggar HAM dan perlu direplikasi ke daerah lain" memunculkan pertanyaan serius: apakah pendekatan keras ini benar-benar sesuai dengan prinsip hak anak?

Komnas HAM berpandangan sebaliknya. Melalui Wakil Ketua Komnas HAM Anis Hidayah, lembaga ini menyatakan keprihatinan mendalam dan menilai bahwa mengirim anak-anak ke barak militer merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak. Dalam pernyataannya, Anis menegaskan bahwa "pendidikan semacam ini dapat mencederai martabat anak, mempermalukan mereka secara publik, dan justru menjauhkan anak dari sistem pendidikan yang ramah dan inklusif."

Komnas HAM juga menekankan bahwa "tidak ada dasar hukum yang membenarkan penanganan anak dalam situasi kenakalan sosial dengan cara yang mengarah pada militerisasi atau intimidasi." Selain tidak proporsional, pendekatan seperti ini dianggap berpotensi melanggar Konvensi PBB tentang Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia sejak 1990.

Konflik pandangan antara dua institusi ini memperlihatkan kegamangan negara dalam menegakkan prinsip perlindungan anak yang konsisten. Jika lembaga pengawas HAM dan Menteri HAM sendiri bertolak belakang, publik berhak bertanya: di mana arah moral dan konstitusional kebijakan negara?

Wewenang Menteri HAM: Bukan Pembuat Kebijakan Pendidikan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun