Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Selamat Hari Pendidikan Nasional: Sudahkah Pendidikan Kita Bermartabat?

2 Mei 2025   07:34 Diperbarui: 2 Mei 2025   07:34 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ki Hadjar Dewantara (Detik.com)

Hari ini, bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Momentum yang seyogianya menjadi pengingat atas pentingnya pendidikan sebagai fondasi peradaban justru terasa penuh keprihatinan. Alih-alih merayakan keberhasilan, Hardiknas tahun ini kembali menjadi momen refleksi mendalam: Sudahkah pendidikan kita benar-benar bermartabat?

Sejarah Hari Pendidikan Nasional dan Gagasan Ki Hadjar Dewantara

Tanggal 2 Mei dipilih sebagai Hari Pendidikan Nasional untuk menghormati kelahiran Ki Hadjar Dewantara, tokoh pejuang pendidikan yang namanya kini diabadikan sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Melalui Taman Siswa, Ki Hadjar menawarkan gagasan pendidikan yang membebaskan, humanistik, dan berbasis pada nilai-nilai kebudayaan bangsa. Ia dikenal dengan filosofi pendidikan yang sederhana namun mendalam: Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Gagasan ini tidak sekadar narasi indah. Ia meletakkan pendidikan sebagai jalan untuk membebaskan manusia dari kebodohan, penindasan, dan keterbelakangan. Pendidikan menurut Ki Hadjar adalah alat untuk memanusiakan manusia.

Namun, sejauh mana kita telah menghidupi semangat itu?

Carut Marut Pendidikan Kita Hari Ini

Dalam praktiknya, pendidikan kita masih jauh dari cita-cita luhur Ki Hadjar Dewantara. Kegelisahan publik tak bisa disangkal: dari perubahan kurikulum yang sering tak disertai kesiapan sistem, hingga kebijakan pendidikan yang kerap berubah seiring ganti menteri.

Sebut saja implementasi Kurikulum Merdeka. Meski digadang-gadang memberi kebebasan belajar, kenyataannya banyak sekolah yang belum siap, baik dari sisi infrastruktur maupun kompetensi guru. Banyak guru mengeluhkan minimnya pelatihan, lemahnya koordinasi pusat-daerah, serta beban administrasi yang tak kunjung ramping.

Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat pada 2024, baru sekitar 56% sekolah yang menyatakan siap menjalankan Kurikulum Merdeka secara mandiri. Sisanya masih tergagap, terutama di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Ketimpangan ini kian memperlebar jurang mutu pendidikan antarwilayah.

Tak hanya itu, masih ada praktik pendidikan yang kontradiktif dengan semangat memerdekakan. Model pendidikan militeristik yang diterapkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menuai kritik keras. Pendidikan menjadi ajang kedisiplinan semu, alih-alih mendorong nalar kritis dan pembebasan. 

Ironisnya, pelaksanaan pendidikan ala militer itu dilakukan hari ini,  pada Peringatan Hari Pendidikan.

Anak Didik, Boneka di Tengah Uji Coba Sistem

Perubahan sistem dan kebijakan pendidikan yang tergesa-gesa membuat peserta didik kerap menjadi "kelinci percobaan". Kurikulum yang belum mapan, asesmen yang berubah-ubah, dan standar kelulusan yang tak konsisten menciptakan kecemasan kolektif di kalangan siswa, guru, dan orang tua.

Contoh nyata adalah penghapusan Ujian Nasional yang digantikan Asesmen Nasional. Meski niatnya baik, pelaksanaan di lapangan menunjukkan bahwa orientasi sekolah tetap pada angka, bukan pada kualitas pemahaman atau karakter. Anak-anak dididik untuk mengejar skor, bukan makna belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun