Ketimpangan Masih Menganga
Dalam Laporan World Bank Education Overview 2024, disebutkan bahwa Indonesia masih menghadapi Learning Poverty sebesar 53%, artinya lebih dari separuh anak usia 10 tahun tidak mampu memahami teks sederhana. Di sisi lain, ketimpangan akses teknologi juga masih menjadi isu serius---terutama di luar Pulau Jawa.
Laporan BPS 2024 juga mengungkap bahwa sekitar 35% sekolah di Indonesia belum memiliki akses internet stabil, dan lebih dari 18% sekolah di daerah pelosok belum memiliki guru mata pelajaran lengkap. Ini menjadi bukti nyata bahwa hak pendidikan yang setara belum tercapai.
Hari Refleksi, Bukan Hari Seremonial
Hardiknas seharusnya bukan sekadar seremonial tahunan yang dipenuhi pidato dan lomba. Ini adalah waktu untuk bertanya pada nurani kolektif kita sebagai bangsa: Apa yang salah? Dan apa yang bisa kita perbaiki bersama?
Pendidikan bukan proyek jangka pendek yang hanya mengandalkan jargon. Ia harus dijalankan dengan keberanian politik, kebijakan yang berkesinambungan, serta komitmen jangka panjang yang tidak semata-mata berubah karena rotasi kursi kekuasaan.
Apa yang Harus Kita Refleksikan?
1. Pendidikan adalah hak, bukan hadiah. Setiap anak di pelosok hingga kota besar berhak mendapatkan kualitas pendidikan yang setara.
2. Guru adalah kunci. Tidak ada pendidikan bermutu tanpa guru yang sejahtera dan kompeten. Namun faktanya, guru honorer masih menjadi tulang punggung pendidikan di banyak daerah, dengan gaji tak layak.
3. Kurikulum harus relevan. Pendidikan yang memerdekakan harus berpihak pada konteks lokal, budaya, dan perkembangan zaman---bukan semata meniru sistem luar.
4. Evaluasi harus bermakna. Jangan hanya ukur capaian lewat angka. Lihat bagaimana anak tumbuh menjadi manusia yang berpikir kritis dan berintegritas.