Perspektif Konstitusional: Siapa yang Punya Wewenang?
Secara hukum, Presiden adalah satu-satunya otoritas eksekutif tertinggi. Dalam hal ini, Prabowo sebagai kepala pemerintahan memiliki hak prerogatif untuk menentukan arah kebijakan. Jika seorang menteri melakukan konsultasi dengan mantan presiden, itu bukan pelanggaran, selama tidak mengabaikan otoritas presiden aktif.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono bahkan menegaskan bahwa kunjungan tersebut tidak bermakna politis. "Pak Jokowi itu teman kerja lama. Kita hormati beliau. Tapi semua kebijakan tetap berdasarkan arahan Presiden Prabowo," ujarnya.
Bukan Matahari Kembar, Tapi Bayangan Panjang
Daripada menyebut sebagai "matahari kembar", lebih tepat jika kita melihat fenomena ini sebagai "bayangan panjang" Jokowi dalam pemerintahan baru. Ia bukan lagi pemilik kekuasaan, tapi bayangannya masih membekas. Dan ini bukan hal baru. Dalam banyak demokrasi, tokoh yang berpengaruh cenderung tetap punya peran informal, baik sebagai penasihat, simbol, maupun patron politik.
Pertanyaannya kemudian adalah: apakah Prabowo akan membiarkan bayangan ini berlarut-larut, atau akan perlahan mengambil alih penuh panggung kuasa, mengukuhkan dirinya sebagai satu-satunya matahari?
Menuju Konsolidasi Kepemimpinan
Sejauh ini, belum ada tanda bahwa Prabowo merasa terganggu dengan kunjungan para menterinya ke Jokowi. Bisa jadi ini bagian dari transisi yang alamiah dalam sistem demokrasi. Namun, Prabowo juga tak boleh membiarkan keraguan berkembang terlalu lama. Kepemimpinan yang tegas, konsolidasi kebijakan, dan komunikasi politik yang jelas akan menentukan apakah ia mampu memantapkan dirinya sebagai satu-satunya matahari di langit kekuasaan Indonesia.
Diskursus soal "matahari kembar" mencerminkan betapa sensitifnya publik terhadap dinamika kekuasaan di negeri ini. Wajar, sebab sejarah telah mengajarkan bahwa dualisme kepemimpinan bisa berujung pada konflik dan kebingungan. Namun dalam konteks hari ini, menyebut Jokowi dan Prabowo sebagai "matahari kembar" tampaknya masih terlalu dini. Yang kita lihat mungkin hanya nostalgia, penghormatan, atau bahkan diplomasi politik yang sopan.
Namun demikian, baik Jokowi maupun para menteri, juga terutama Prabowo sendiri, harus menjaga agar simbol-simbol loyalitas tidak mengaburkan batas-batas kekuasaan yang sah. Sebab dalam demokrasi, jelas lebih baik satu matahari yang bersinar terang, daripada dua yang saling bersaing dan justru menimbulkan bayangan panjang ketidakpastian.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI