Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Tim Hukum Prabowo, Bagai Mencari "Kucing Bertanduk"

23 Juni 2019   08:13 Diperbarui: 23 Juni 2019   09:26 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Kompas.com

Sidang pertikaian Pilpres sudah selesai, tinggal menunggu hasil keputusan hakim MK atas sidang itu.

Sebagai tontonan sidang ini cukup menarik karena banyak drama, tragedi dan dan kelucuan yang terjadi. 

Namun tentu saja acara sidang itu tidak sama dengan sinetron atau pertandingan oleh raga. Peristiwa itu adalah suatu acara sangat serius dalam sejarah bangsa ini untuk menentukan pemimpin lima tahun ke depan. 

Selain itu, sidang tersebut juga merupakan pembelajaran dalam berdemokrasi yang benar. Hal itu dikarenakan selama sidang ditampilkan para ahli hukum dan pengacara terbaik di negeri ini. 

Lewat sidang kesaksian dan  perdebatan itulah masyarakat umum tahu bahwa apa saja yang menjadi wewenang MK saat ini dalam memecahkan pertikaian dan persoalan Pilpres. 


Dari dialog dan perdebatan dalam sidang lah banyak masyarakat baru tahu bahwa ada perubahan wewenang yang telah diberikan Undang - undang sejak MK didirikan sampai saat ini. 

Jika sebelumnya MK diberikan wewenang dalam memutuskan hampir semua tahapan dalam proses pilpres, saat ini kewenangan itu dibagi ke institusi hukum lain.

Seperti yang dikemukakan oleh Profesor hukum Edward Omar Sharif Hiariej dihadirkan tim Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai ahli di Sidang gugatan Pilpres 2019. 

Dalam keterangannya Profesor Eddy mengatakan bahwa dakwaan dan petitum yang disusun oleh Tim Prabowo tidak punya dasar hukum yang kuat, juga sebenarnya yang dituntut tidak semua menjadi wewenang MK. (Detik.com)

"Kuasa hukum pemohon secara kasatmata mencampuradukkan antara sengketa pemilu dengan perselisihan hasil pemilu," kata Prof Edi saat sidang lanjutan gugatan Pilpres 2019 di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), di Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (21/6/2019).

Eddy menilai pelanggaran pemilu seharusnya dibawa ke Bawaslu, bukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Eddy menilai penggugat tak paham soal kewenangan MK.

Juga ada peran dari lembaga - lembaga hukum lainnya, tergantung jenis pelanggaran dan tahapan kapan pelanggaran itu terjadi.

"Penyalahgunaan birokrasi serta diskriminasi aparat dan ketidaknetralan pers, pada hakikatnya pelanggaran dalam UU Pemilu harusnya dilaporkan ke Bawaslu. Apakah itu pelanggaran administrasi, sengketa, atau pidana, baru nanti didistribusikan ke DKPP, pengadilan negeri, atau ke Pengadilan Tata Usaha Negara," lanjut Prof Eddy.

Jadi dari penjelasan ini, misalnya untuk pembuktian dan persoalan kecurangan yang Terstruktur Sistematis dan Masif, yang menjadi dakwaan utaman Tim hukum Prabowo adalah kewenangan yang telah diberikan kepada Bawaslu. Jika ada pelanggaran jenis itu maka ada instansi gabungan GAKUMDU yang akan menyelesaikannya.

Sedangkan MK, dengan Undang - Undang MK yang baru, wewenang MK terbatas pada perselisihan hasil Pemilu. 

Hal ini berarti, sebenarnya yang paling utama harusnya diajukan oleh tim hukum Prabowo adalah perbedaan perolehan angka atau segi kuantitatif dari hasil hitung Pemilu yang telah disahkan oleh KPU.

Selain hal di atas, dari sidang MK juga dapat diketahui bahwa apa peran dari situng KPU dan hasil dari perhitungan berjenjang.

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat dalam sidang lanjutan PHPU Pilpres 2019 menyatakan bahwa hasil penghitungan suara Pemilu 2019 yang resmi berasal dari rekapitulasi suara secara manual dan berjenjang yang dilaksanakan dari tingkat TPS hingga nasional. (CNN.com)

Jadi menyangkut penegasan ini sebenarnya apa yang dipaparkan oleh ahli IT yang mencecar kelemahan situng KPU tidaklah relevan, karena bukan hasil situng lah yang menentukan kemenangan Pilpres. 

Juga kengototan tim hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang meminta audit forensik terhadap sistem informasi perhitungan suara (Situng) milik KPU pada sidang lanjutan sidang PHPU Pilpres 2019 di MK, juga sebenarnya tidaklah perlu.

Dari sidang itu juga jelas bahwa Tim hukum Prabowo kurang memperhatikan kualitas dari bukti mereka. Sepertinya mereka hanya mengumpulkan semua yang dianggap pelanggaran Pemilu tanpa fokus pada apa yang sebenarnya penting dan hakiki untuk disampaikan. 

Terdapat juga perbandingan kasus yang tidak relevan dalam bukti - bukti yang disampaikan oleh Tim hukum Prabowo.

Dalam hal ini Prof. Eddy juga menilai tim 02, yang selalu membandingkan kasus Pilkada dengan Pilpres 2019, merupakan hal yang tidak relevan. Menurut Eddy, Pilpres dan Pilkada merupakan hal yang berbeda. Ini sepeti membandingkan buah durian dengan buah nangka.

Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam semua dakwaan dan petitum yang diajukan oleh Tim Prabowo seperti:  membeli makanan di toko bangunan, mencari ikan di Padang gurun,  dan membandingkan buah durian dan nangka. 

Tentu dengan dengan dakwaan seperti ini, mengharapkan kemenangan dalam kasus sengketa Pilpres tersebut seperti mencari Kucing Bertanduk. ***MG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun