Di media sosial, kalimat seperti "Aku anxiety", "Aku overthinker", atau "Aku depresi" kini sering muncul --- bahkan kadang lebih sering daripada "Aku lapar".
Di balik kata-kata itu, ada dua sisi: sisi harapan bahwa orang mulai berani bicara tentang kesehatan mental, dan sisi gelap ketika istilah medis berubah jadi tren pencitraan.
Fenomena ini bukan hal kecil. Di TikTok, X (Twitter), dan Instagram, banyak pengguna mengaku mengalami gangguan kecemasan atau depresi, disertai unggahan wajah lesu atau kutipan "dark". Tapi jika ditelusuri lebih dalam, tidak semuanya benar-benar mengalami gangguan psikologis.
Sebagian hanya menjadikannya tameng --- pembenaran untuk sifat buruk, perilaku impulsif, atau sekadar untuk menarik perhatian. Lalu di mana batas antara "benar-benar sakit" dan "sekadar ingin terlihat berbeda"
---
Ketika Diagnosis Menjadi Label Sosial
Diagnosis gangguan mental bukanlah hal yang bisa diambil dari video motivasi atau hasil kuis daring.
Menurut DSM-5 (buku panduan medis internasional untuk diagnosis gangguan jiwa), seseorang baru bisa dikatakan memiliki gangguan seperti depresi mayor, gangguan kecemasan, bipolar, atau borderline personality disorder setelah melalui serangkaian pemeriksaan psikologis dan psikiatris resmi.
Sayangnya, di dunia maya, label itu berubah jadi mode.
Seseorang yang mudah marah disebut "bipolar", yang sensitif dibilang "anxious", yang moody disebut "borderline".
Padahal, emosi naik-turun bukanlah penyakit. Itu manusiawi. Tapi karena dunia digital suka hal dramatis, maka istilah medis pun dipakai sebagai aksesoris identitas.