Kekerasan di Pesantren: Luka yang Tak Boleh Dinormalisasi
Setiap orang tua tentu ingin anaknya tumbuh dengan akhlak mulia, disiplin, dan mandiri. Itulah sebabnya banyak yang dengan penuh harapan menitipkan putra-putrinya ke pesantren. Mereka percaya, pesantren adalah tempat yang aman, religius, dan mampu mendidik anak-anak agar menjadi generasi penerus yang berilmu serta berakhlak mulia.
Namun, di balik tembok pesantren, ada kisah yang membuat hati miris. Masih saja terdengar kabar adanya kekerasan fisik yang menimpa para santri. Lebih ironis lagi, pelakunya bukan hanya pengasuh atau guru, tetapi kakak kelas atau senior yang merasa berhak mendisiplinkan adik kelas dengan cara-cara menyakitkan. Jika kondisi ini terus dibiarkan, kekerasan akan menjadi sesuatu yang dianggap wajar. Padahal, kekerasan adalah luka, dan luka itu tidak boleh dinormalisasi.
Kekerasan Bukan Solusi
Kekerasan fisik, baik berupa pukulan, tendangan, cubitan, maupun hukuman berlebihan sering dianggap jalan pintas untuk mendisiplinkan. Padahal, dampaknya jauh lebih berat. Seorang santri mungkin tampak patuh karena takut, tetapi di dalam hatinya ia bisa menyimpan trauma, rasa tidak berharga, ketakutan, tertekan bahkan dendam.
Hukuman fisik tidak mengajarkan santri tentang tanggung jawab atau kesadaran diri. Anak-anak belajar melalui keteladanan dan bimbingan, bukan melalui rasa sakit. Ketika mereka dipukul atau diintimidasi, yang muncul bukan rasa bersalah atau motivasi untuk berubah, tetapi rasa takut dan kebencian yang terselubung. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menurunkan kepercayaan diri, mengganggu kemampuan bersosialisasi, dan bahkan membentuk perilaku agresif.
Kekerasan juga menyalahi prinsip pendidikan Islam itu sendiri. Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya:
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik."
 (QS. Al-A'raf: 56)
"PENDIDIKAN SEHARUSNYA MEMPERBAIKI, BUKAN MELUKAI"