Rasullullah SAW pun menekankan pentingnya kelembutan dalam mendidik. Beliau bersabda:
"Bukanlah orang yang kuat itu yang menang dalam perkelahian, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah."
 (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain dampak psikologis, kekerasan juga dapat merusak ikatan sosial di pesantren. Santri yang merasa diperlakukan tidak adil cenderung menutup diri, enggan berbagi masalah, bahkan membenci lingkungan pendidikannya sendiri. Bukankah pendidikan harus membangun rasa percaya dan kasih sayang, bukan ketakutan?
Penting bagi semua pihak, baik pengasuh, guru, maupun senior, untuk menyadari bahwa mendidik bukan tentang siapa yang lebih kuat secara fisik, melainkan siapa yang mampu membimbing dengan kasih sayang dan kesabaran. Pendidikan yang menanamkan keteladanan, empati, dan rasa hormat akan jauh lebih efektif daripada kekerasan yang hanya meninggalkan luka.
Perlu di ingat bahwa Kekerasan bukanlah tanda kekuatan, melainkan kelemahan dalam mengendalikan diri.
Budaya Senioritas yang Menyimpang
Di beberapa pesantren, senioritas sudah seperti budaya. Santri yang lebih lama tinggal di pondok merasa punya otoritas lebih dibanding juniornya. Mereka diberi kepercayaan untuk mengatur, menegur, bahkan menghukum. Sayangnya, kepercayaan ini kerap disalahgunakan.
Ketika hukuman berubah menjadi kekerasan, pesantren kehilangan ruh pendidikannya. Yang lebih mengkhawatirkan, pola ini berulang: santri yang dulu menjadi korban kekerasan, ketika naik tingkat, akan melakukan hal yang sama. Inilah yang menjadikan kekerasan seolah tradisi, padahal sejatinya adalah luka yang diwariskan.
Saya pribadi pernah mendengar cerita dari seorang santri yang mengaku takut bukan kepada ustaznya, melainkan kepada kakak kelas di asrama. Baginya, setiap malam adalah ketegangan, takut salah, takut ditegur, bahkan takut dihukum dengan cara yang menyakitkan. Bukankah ini ironis? Pesantren yang seharusnya menjadi tempat menenangkan hati justru berubah menjadi tempat yang memupuk rasa takut.
Budaya senioritas yang menyimpang ini sering kali dianggap wajar. Bahkan ada ungkapan "biar mereka merasakan seperti yang dulu kita rasakan." Inilah lingkaran setan yang berbahaya. Kekerasan yang diterima tidak dijadikan pelajaran untuk berhenti, tetapi justru diwariskan dengan alasan menjaga tradisi kedisiplinan. Padahal, disiplin sejati tidak lahir dari rasa takut, melainkan dari kesadaran dan keteladanan.