Mohon tunggu...
Mario Baskoro
Mario Baskoro Mohon Tunggu... Jurnalis - Punya Hobi Berpikir

Hampir menyelesaikan pendidikan jurnalisme di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Secara praktis sudah menyusuri jalan jurnalisme sejak SMA dengan bergabung di majalah sekolah. Hampir separuh perkuliahan dihabiskan dengan menyambi sebagai jurnalis untuk mengisi konten laman resmi kampus. Punya pengalaman magang juga di CNN Indonesia.com. Tertarik di bidang sosial, politik, filsafat, dan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jadi Jurnalis Enggak Enak, Kata Siapa?

26 Juni 2017   21:20 Diperbarui: 27 Juni 2017   23:32 2000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : dokumentasi pribadi

Sekilas Menolak Lupa Tentang Keadilan....

Kisah ini emamg bukanlah kisah yang secara langsung melibatkan penulis didalamnya. Penulis memperoleh dan terinspirasi akan kisah ini saat tengah menjalani seminar wajib kepenjurusan yang penulis jalani saat di perkuliahan ; langsung dari yang berpegalaman selama bertahun-tahun.

Masih ingat dengan Mary Jane? Pendatang asing dari Filipina yang datang ke Indonesia dalam rangka mengadu nasib sebagai pembantu rumah tangga disini? Yang terciduk setelah (secara tak terprediksi) membawa berkilo heroine? Beberapa tahun lalu kasusnya menjadi booming tatkala dia menjadi korban penipuan organisasi jaringan narkoba internasional. Yang membuat itu semakin menjadi pusat perhatian masyarakat dan media, adalah sangat ironi sekali ketika ternyata hukum Indonesia tidak mampu memayungi penjaminan keselamatan dan keadilan baginya. 

Statusnya sebagai korban tersulap menjadi terdakwa oleh sadisnya hukum kala itu, sehingga ia harus menjalani proses eksekusi hukuman mati. Hukum Indonesia terlalu absolut jika menangani soal narkoba -yang dimana merujuk pada peristiwa tersebut, tidak peduli jika seseorang itu pelaku, hanya distributor atau bahkan korban tak berdaya (layaknya Mary Jane sendiri) sekalipun, yang penting adalah jika seseorang itu kehidupannya memiliki perkontakan dengan jaringan persebaran obat-obatan terlarang, dia tetaplah memperoleh perlakuan hukum sesuai dengan yang terkonstitusikan sekalipun itu berlawanan dengan aspek keadilan dan kemanusiaan.

Sejak beberapa dekade terakhir, isu-isu dengan gaya paradigma serupa tersebut menjadi bahan perdebatan raksasa dikalangan berbagai jenis kalangan masyarakat dan tentunya juga media -yang hampir tidak pernah kunjung-kunjungnya selesai. Terdapat kontradiksi sengit antara kubu 'patut hukum' dengan kubu 'penegak kemanusiaan'. Di satu sisi, si'patut hukum' mengansumsikan bahwa meskipun  putusan tadi meleset dari nilai kemanusiaan sekalipun, semua Undang-undang tentang obat terlarang tersebut tetaplah merupakan bagian dari hukum Indonesia. 

Sebagai negara konstitusi, kewajiban masyarakat untuk 'mengiyakan' segala peraturan yang ada adalah sesuatu kewajiban moral (?), meskipun itu bertolak-belakang dengan prinsip kemanusiaan yang mereka anut sekalipun. Di sisi lain, si 'penegak kemanusiaan', jelas, dengan cara yang varian mereka secara eksplisit menolak apa yang mereka anggap 'keliru' terkait kasus tadi. Hukum Indonesia keliru, mengapa bisa-bisanya memihak ketakperikemanusiaan seperti itu? ; Media juga lebih keliru, mengapa hanya bisu dan seakan sejalan dengan tindak tanduk pemerintah? kira-kira seperti itulah.


Dengan sedikit keringanan hati, penulis sepertinya mengiyakan pernyataan yang digarisbawahi. Karena PERS adalah komponen yang secara langsung terpayungi oleh Undang-undang dan negara, maka dalam hal ini mau tidak mau sudah sepatutnya media (bersama dengan jurnalis) tidak mungkin serta merta berseberangan dengan pemerintah, sehingga terposisikanlah mereka sebagai yang memihak kubu si'patut hukum'. Tetapi, bukankah justru pada bagian atas essay ini dijelaskan bahwa jurnalis juga berpegang teguh pada tanggung jawab moral dan kemanusiaan?

Disinilah para jurnalis kala itu (yang tentunya sepemikiran dengan penulis) tergerak menunjukan aksinya. Dengan sedikit modifikasi model pengarusan informasi yang lebih 'kencang', isu tersebut disebarluaskan dengan ditekankan sudut pandang kemanusiaannya (namun tetap berpegang pada kode etis jurnalistik). Pada perkembangan berikutnya, isu tersebut pada akhirnya menjadi isu nomor satu pada masa awal-pertengahan pemerintahan Presiden Joko Widodo, bahkan terdengar hingga sampai ketelinga pemerintah, termasuk Presiden sendiri. 

Alhasil, pada detik-detik terakhir pelaksanaan eksekusi mati Mary Jane, dengan cara yang mengejutkan Presiden Joko Widodo mengambil langkah secara personal untuk memerintahkan penegak hukum yang terlibat agar menangguhkan status terdakwa Mary Jane dan melakukan penundaan terhadap proses eksekusi mati tersebut. Setahun setelah Mary Jane 'batal' tereksekusi, pertemuan Mary Jane dengan keluarga dan saudara-saudaranya semakin menarik perhatian dan simpati lebih banyak pihak, dan lagi-lagi menjadi isu hangat. Semua itu, karena keuletan para pengabdi informasi.   

Disinilah, tanggung jawab moral dan kemanusiaan yang sesungguhnya penulis maksud. Jurnalistik bukanlah hanya sekadar bidang keprofesian belaka, karena di dalamnya secara langsung atau tidak langsung akan kita temukan keberpihakan yang absolut pada keuniversalan akan kebebasan, kesejahteraan dan hak asasi orang banyak. Bagaimana hati dan pikiran kita tidak damai luar biasa ketika banyak orang lain puas, tersenyum dan berterimakasih atas karya dan pekerjaan kita?  

Jangan takut untuk mengabdikan diri pada jurnalistik. Jurnalis adalah profesi yang mulia. Di satu sisi, mereka memang mengisi hidup mereka dengan pengabdian akan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan arus informasi. Namun di sisi lain, sekaligus pula mereka juga berpegang teguh pada pegabdian akan aspek moral dan kemanusiaan (yang dimana hal itu adalah sesuatu yang perlu untuk ditekankan dalam kehidupan urban yang serba individualistik seperti sekarang), meskipun sewaktu-waktu mereka tidak jarang menempatkan diri mereka di bawah segala-galanya, atau bahkan dalam konteks yang lebih parah lagi, seperti mengijinkan nyawa mereka sebagai taruhannya. Mulia dari dalam dan dari luar sekaligus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun