Mohon tunggu...
Mario Fernandes
Mario Fernandes Mohon Tunggu... Lainnya - Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia

mario.fernandes@ui.ac.id

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menolak "Lupa" Satu Tahun Reformasi Birokrasi Presiden Jokowi

11 November 2020   17:14 Diperbarui: 11 November 2020   17:20 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin kita masih ingat pidato pelantikan Presiden Jokowi tanggal 20 Oktober 2019, salah satu poin penting kebijakan presiden Jokowi dalam pidato tersebut adalah penyederhanaan birokrasi besar-besaran di Kementerian dan Lembaga dengan menghapus eselon 3 kebawah. Untuk merealisasikan kebijakan tersebut, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) diberikan kewenangan untuk menetapkan kebijakan penyederhanaan birokrasi melalui Peraturan Menteri PANRB No. 28/2019 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke dalam Jabatan Fungsional.

Sudah satu tahun berlalu sejak pidato pelantikan presiden Jokowi, sehingga masyarakat mulai mempertanyakan sudah sejauh mana kebijakan ini diimplementasikan oleh pemerintah. Berdasarkan informasi dari laman resmi Menpanrb penyederhanaan birokrasi yang awalnya ditargetkan selesai tanggal 30 Juni 2020 mundur menjadi 31 Desember 2020.

Sekretaris Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Sesmenpan-RB) Dwi Wahyu Atmaji menyampaikan pelaksanaan penyederhaan birokrasi per 1 Oktober 2020 di kementerian/lembaga baru tercapai sekitar 70% dengan rincian Jabatan eselon III yang semula berjumlah 8.786 kini berkurang menjadi 5.106. Jabatan eselon IV yang semula 30.123 menjadi sekitar 19.130 dan jabatan eselon V dari semula berjumlah 19.865 menjadi 5.072.

Melihat kondisi ini tentu muncul pertanyaan sudahkan penyederhanaan birokrasi berjalan dengan efektif dan efisien. Secara filosofis Birokrasi dalam pemerintahan negara Indonesia dapat didefinisikan sebagai keseluruhan organisasi pemerintah, yang menjalankan tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah di bawah departemen dan lembaga-lembaga non departemen, baik di tingkat pusat maupun daerah. ­­­Sedangkan menurut Max Weber tipe ideal dari suatu birokrasi, adalah birokrasi yang berdasarkan pada suatu sistem peraturan yang rasional, serta tidak berdasarkan pada paternalisme kekuasaan dan kharisma.

Lebih lanjut Max Weber menyatakan sebuah birokrasi harus dibentuk secara rasional sebagai organisasi sosial yang bisa diandalkan, terukur, dapat diprediksikan, dan efisien. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa dalam kehidupan masyarakat modern, birokrasi sangat diperlukan untuk menunjang kegiatan pembangunan ekonomi, politik, serta budaya. Hal ini sejalan dengan tujuan penyederhanaan birokrasi presiden jokowi untuk membuat organisasi dapat bergerak lebih lincah, cepat dan efisien sehingga peningkatan investasi untuk penciptaan lapangan kerja dapat dicapai.

Menurut pendekatan birokrasi dari Max Weber,  Penciptaan birokrasi rasional tidak terlepas dari tuntutan demokrasi yang mensyaratkan diterapkannya penegakan hukum dan legalisme formal dalam tugas-tugas penyelenggaraan negara. Dengan demikian, birokrasi harus diciptakan sebagai sebuah organisasi yang terstruktur, kuat dan memiliki sistem kerja terorganisasi dengan baik. Untuk menciptakan suatu birokrasi menjadi sebuah organisasi yang terstruktur, kuat dan memiliki sistem kerja yang terorganisasi secara baik, maka dibutuhkan aparatur birokrasi yang selalu mengedepankan Profesionalitas dalam bekerja. Hal ini sejalan dengan upaya penghapusan eselon 3 dan 4  yang selanjutnya diganti dengan jabatan fungsional yang menghargai keahlian dan kompetensi.

Sebagai Warga Negara Indonesia, tentunya kita menginginkan sistem birokrasi publik di mana para petinggi atau para pejabat yang ada di dalamnya adalah manusia yang profesional dan memiliki kompetensi yang baik. Namun realitanya sekarang banyak sekali birokrat-birokrat yang tidak memiliki kompetensi yang baik serta menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang untuk melakukan pebuatan-perbuatan yang menyimpang untuk memenuhi keinginannya, seperti korupsi dan  sebagainya.

Max Weber menyebut perbuatan menyimpang tersebut sebagai patologi birokrasi atau lebih dikenal dengan penyakit birokrasi yang harus diselesaikan melalui efisiensi organisasi. Selama birokrasi kementerian lembaga belum disederhanakan maka potensi penyimpangan akan selalu ada. Oleh karena itu, proses penyederhanaan birokrasi sebuah keniscayaan yang harus dikawal dengan ketat oleh pemerintah dan masyarakat karena jika tidak dikawal dengan baik tentunya kebijakan ini sulit untuk diwujudkan.

Pada awal kebijakan ini dikeluarkan, muncul banyak gejolak dari sisi internal kementerian dan lembaga. Dari tahun 2019 semenjak kebijakan ini dikeluarkan memang sudah ada berbagai upaya yang sudah dilakukan oleh Pemerintah untuk melakukan penyederhanaan birokrasi, tetapi sayangnya masih bersifat parsial atau hanya sebagian kecil kementerian dan lembaga yang serius melakukan penyederhaan birokrasi dengan menghapus jabatan eselon 3 dan 4. Sebagai contoh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat hanya fokus menghapus eselon 4 sedangkan Kementerian Keuangan hanya menghapus eselon 3 dan 4 di  badan kebijakan fiskal sedangkan kementerian dan lembaga lain belum bergerak sama sekali. Melihat fenomena ini jelas sekali terlihat bahwa kebijakan penyederhanaan birokrasi oleh presiden jokowi tidak sepenuhnya diikuti oleh menteri, kepala badan atau pejabat di lingkungan kementerian dan lembaga. Hal ini disebabkan faktor tarik menarik kepentingan politik dan kekhawatiran bagi pejabat kehilangan jabatannya atau tidak mampu bersaing jika nanti dialihkan ke jabatan fungsional.

Mungkin ini sudah menjadi dosa dari kebobrokan birokrasi Indonesia masa lalu yang syarat dengan KKN sehingga SDM aparatur yang mengisi posisi sekarang diragukan kompetensinya. Terlepas dari semua itu, ini memang menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar dari pemerintahan presiden jokowi untuk melalukan penyederhanaan birokrasi melalui mekanisme jabatan fungsional yang pada dasarnya memiliki tujuan mulia yaitu untuk mewujudkan SDM yang unggul di Kalangan ASN. Hal ini sejalan dengan Konsep birokrasi yang disampaikan oleh max weber bahwa  pejabat dalam pelayanan publik pemerintah merupakan pemicu dan penggerak dari sebuah mesin yang tidak mempunyai kepentingan pribadi (each individual civil servant is a cog in the machine with no personalitiesinterest) sehingga dapat bekerja secara profesional. Jabatan Fungsional seyogianya memang erat kaitannya  dengan upaya menciptakan ASN unggul yang diharapkan menjadi motor penggerak pembangunan menuju Indonesia maju.

Dengan upaya fungsionalisasi ASN tentunya dapat membuat perubahan paradigma dan budaya kerja berbasis kinerja yang pada akhirnya meningkatkan profesionalitas ASN. Peningkatan profesionalitas ASN melalui mekanisme jabatan fungsional merupakan cara untuk mewujudkan SDM Aparatur yang berdaya saing karena dihadapkan dengan sasaran kinerja berbasis angka kredit yang jelas dan terukur. Penerapan jabatan fungsional tentunya akan membuat roda organisasi berputar lebih cepat karena setiap ASN akan terpacu mencapai angka kredit yang dipersyaratkan dan sebaliknya ASN yang tidak berkinerja tentunya akan dipacu oleh ASN yang kompeten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun