Mohon tunggu...
Nofrianus Sothirjo Marin
Nofrianus Sothirjo Marin Mohon Tunggu... Lainnya - Suka Membaca Tulisan Ringan

Pejalan Sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saya Orang NTT "Nusa Terindah Toleransi"

15 Juli 2020   12:53 Diperbarui: 15 Juli 2020   12:55 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak tukang becak bercanda gurau, tertawa lepas sembari menungu tawaran turis/wisatawan untuk diantar. Di sebelah tempat tongkrongan, asap-asap sesekali mengepul dari corong bakaran pakde di angkringan. Mewarnai panorama sore itu, banyak pejalan kaki di area Tugu, Malioboro, sampai ke titik Nol Kilometer. Sekilas saya bisa membayangkan, orang-orang dengan varietas ciri-ciri fisik bisa menggambarkanperbedaan asal, daerah, budaya, ras, dan agama. Saya dan Bli mengakhiri sore itu dengan menyeruput kopi hitam manis di Monumen Serangan Umum 1 Maret yang berdampingan dengan Benteng Vredeburg.

...

Waktu tidak berhenti di Titik Nol Kilometer. Waktu mengantarkan saya pada sebuah aktivitas baru, usai saya mengabiskan waktu seminggu dengan mencicipi keindahan-keindahan Kota Yogya. Saya mulai mengenyam ilmu di kelas perkuliahan. Di sinilah saya mulai mengenal banyak hal beragam, atau dalam istilah yang keren, mengutip bahasa Gus Dur, pluralitas. Sedikit lebih mencerahkan, dosen kami yang sudah mulai ubanan, tetapi semangatnya bernyala-nyala, menceramahi kami tentang pluralitas dan toleransi.

Suasana kelas hening, pagi itu di pengawal September. Sang dosen dengan piawainya "membius" kami dengan bahasa-bahasa nasionalisme yang diksi-diksinya, kadang bagi saya sebagai anak desa, mudah untuk dipahami secara cepat. Sebut saja, pluralitas, toleransi, keberagaman, adalah beberapa kata yang diminta perbedaannya kepada kami oleh pak dosen. Dari jawaban-jawaban ringkasnyaDitha, saya paham sedikit soal istilah-istilah itu. Saya menangkap arti pluralitas dan keberagaman. Kalo teman-teman yang dari Yogya bilang, ini rada-rada mirip. Setelah hampir dua jam kami berdinamika dan berdialektika, kami dipisah waktu untuk pertemuan pertama ini.

Masih di hari yang sama. Kuliah hari pertama, berasa lama dan panjang waktunya. Selepas kelas, saya pergunakan waktu selow untuk berkenalan dengan teman-teman. Kami sama-sama memanfaatkan momen pertama ini untuk menambah koleksi teman. Anak rantauan seperti saya menganggap teman-teman di sini sebagai keluarga yang dekat. Memori awal itu masil lekat sampai saat ini, bahkan ketika hari masih subuh ketika saya bangun dan melanjutkan cerita ini. Ivan, dia dari NTT juga, tetapi kami beda pulau.

Di arah ketimuran Indonesia, ada Ricky asal Maluku dan Andreas kelahiran Manokwari, Papua. Jesry lahir dari keluarga Toraja, Sulawesi Selatan. Dia mewakili rumpun Indonesia Tengah bersama Singgih dari Sulawesi Tenggara, tepatnya Kota Bau-Bau. Dengan tau nama saja, bisa teridentifikasi Shafar, Asep, Ikhsan, mereka orang berdarah Jawa. Awal-awal, saya merasa cara bicara mereka cepat sekali.

Sebaliknya, dengan nada bercanda dan logat ketimuran, kata mereka," hei kawan ko pu cara bicara seperti orang berantem saja". Mendengar itu, kami tertawa terbahak-bahak. Kedekatan emosionalpun makin erat.

Perbedaan logat bicara akhirnya bisa diterima secara humoris di antara kami. Walaupun awalnya agak susah untuk menelaah satu persatu kalimat yang diucapkan.   Kadang juga mereka dengan Bahasa Jawanya yang dilaflkan secaran lembut, seolah saya berbicara dengan Malaikat, tapi tak paham sedikitpun. Bagian matahari terbenam Indonesia, ada Lubis dan Kirby. Mereka berdua berasal dari salah satu suku terbesar di Indonesia, yakni Suku Batak.Kata teman-temandekat, kami agak mirip kalo dilihat dari cara bicaranya.

Di sisi lain, saya sedang tidak berblok, atau menyempitkan diri untuk berteman dengan beberapa orang saja. Memang agak canggung di awal itu saya berkenalan dengan mbak-mbak. Lalu, kami menyisakan senja awal kuliah itu dengan bercengkrama di angkirangan depan kampus. 

Malam keesokannya, di Angkringan yang berbeda, saya dan Bli menyeruput teh jahe. Kami juga menikamti tempe bakar yang diolesi kecap. Sesekali mencoba melahap sate telur burung dan cakar ayam.  Kalau masih lapar, satu dua bungkus nasi kucing jadi pelengkap kepuasan malam sebelum tidur. Kami berbincang di sela bunyi kunyahan dan seruputan.

"Bli, ko tau tidak, saya belajar sesuatu dari tempat makanini", kataku sambil menunjuk gerobak angkringan, sebab kami lesehan sekitar jarak tiga meteran. Jawab Bli dengan khasannya, "apa ejo?", sedikit nada kaget. "Kawan, saya pikir, di tempat ini kita belajar apa yang namanya 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun