Mohon tunggu...
Mariemon Simon Setiawan
Mariemon Simon Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Silentio Stampa!

Orang Maumere yang suka makan, sastra, musik, dan sepakbola.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Chelsea, Manchester City, dan Pengalaman "Terpeleset" (Bagian I)

8 Mei 2021   13:35 Diperbarui: 10 Mei 2021   05:00 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
John Terry mendapat aplaus dari suporter Chelsea di Stadion Stamford Bridge seusai laga kontra Watford, Senin (15/5/2017). (AFP/BEN STANSALL)

Chelsea: Bangkit Setelah 'Terpeleset'

"Hey! This does not fucking slip now. Listen! This does not fucking slip." Menakjubkan.

 Itulah motivasi penuh rasa optimis -- Dex Glenniza menyebutnya sebagai 'pidato agung' -- yang membuka harapan akan kehadiran trofi Liga Inggris. 

Apa yang dikatakan Gerrard menjanjikan kelegaan akan dahaga trofi liga yang sudah absen selama dua dekade lebih. 

Miracle of Istanbul dan beberapa trofi domestik adalah piala-piala yang tidak mudah dilupakan, tetapi absennya trofi liga tampaknya tidak akan menyempurnakan kebesaran sebuah tim, apalagi tim yang memang sejatinya punya catatan historis yang agung.

Secara tradisional, Liverpool adalah tim besar. Mereka adalah raja sepakbola di Inggris dengan koleksi gelar terbanyak sebelum Sir Alex Ferguson mendarat di Old Trafford. 

Bertahun-tahun sejak liga Inggris berubah format, dominasi mereka telah dipatahkan Manchester United (MU), dan The Reds hanya menjadi pengisi kuota The Big Four (MU, Arsenal, Liverpool, Chelsea), meramaikan persaingan MU dan Arsenal, serta menjadi anggota The Big Six sejak Tottenham berkembang dan Manchester City dilumuri uang minyak. 

Bahkan, ketika Chelsea mencoba mematahkan dominasi MU, Liverpool tidak sanggup menjuarai liga. Sebelum Jurgen Klopp datang, mereka tidak sekalipun mencicipinya; hanya sebatas 'hampir juara', dan tim yang sebatas 'hampir juara' tidak pernah mendapatkan trofi.

Pada akhirnya, narasi tentang 'terpeleset' itu disempurnakan oleh Steven Gerrard sendiri. Pengalaman pahit itu menjadi titik hitam dari sekian kegemilangan dan kesetiaan sang kapten selama berkostum Liverpool. Saya tidak membahas lebih jauh tentang ke-terpeleset-an Gerrard, atau nasib mereka pada pertandingan sisa musim itu. 

Saya lebih tertarik membahas sebuah klub dari London yang menjadi lawan Liverpool ketika Gerrard 'terpeleset', sebuah tim yang kerap hadir dalam beberapa narasi tentang 'terpeleset' (VS Liverpool, 2014; semifinal UEFA Champions League 2011/12 VS Barcelona; Final FA Cup 2007 VS MU), tim yang sudah mengalami bagaimana pedihnya 'terpeleset': Chelsea.

Sejak resmi menjadi milik Roman Abramovic, Chelsea mengalami tranformasi yang cukup mencolok. Pada masa-masa awal kedatangan orang kaya Rusia itu, Didier Drogba, Joe Cole, Wayne Bridge, hingga Damien Duff didatangkan. 

Pun Jose Mourinho ditarik ke Stamford Bridge usai membawa FC Porto meraih treble. Hasilnya, cukup memuaskan. Dominasi MU (dan Arsenal) perlahan dipatahkan. The Blues mulai bergelimang trofi berkat gelontoran uang Abramovich. Di kompetisi domestik, Chelsea tampil menakutkan.

Namun dalam kompetisi Eropa khususnya UEFA Champions League (UCL), mereka masih jauh dari trofi (sebelum Abramovich datang, mereka hanya menjuarai Piala Winners dan Piala Super UEFA). 

Perjalanan mereka terjauh mentok di semifinal. Abramovich yang tidak sabaran itu ingin agar trofi UCL pun mengisi lemari trofi klubnya. 

Namun, tidak ada yang dapat memuaskan hasrat Abramovich; hingga pada akhirnya, di bawah kendali seorang pelatih Israel, Chelsea tiba di Moscow pada final UCL 2008.

Kapten Chelsea, John Terry, gagal mengeksekusi pinalti akibat terpeleset dalam final UCL 2008 melawan MU. (Sumber: Goal.com)
Kapten Chelsea, John Terry, gagal mengeksekusi pinalti akibat terpeleset dalam final UCL 2008 melawan MU. (Sumber: Goal.com)

Moscow yang basah pada Mei 2008 adalah drama. Lupakan sejenak gol kepala Cristiano Ronaldo, kartu merah Didier Drogba, teriakan dengan dua tangan teracung Edwin Van Der Sar, sepakan yang mengenai tiang dan mistar, atau senyum Opa Fergie dengan trofi si kuping lebar keduanya. 

Beberapa tahun sebelum slip-nya Gerrard terjadi di Anfield, Moscow telah menjadi saksi 'terpeleset' yang memilukan dari perburuan gelar paling bergengsi di Eropa, ke-terpeleset-an yang membuat Abramovich tersenyum tapi tidak benar-benar puas, ke-terpeleset-an yang membuat mereka harus menunggu beberapa tahun lagi untuk trofi tersebut,.

Ke-terpeleset-an yang menegaskan bahwa klub yang (mendadak) kaya tidak dapat dengan mudah membeli sebuah trofi (di level Eropa). Dan sama seperti Gerrard, terpeleset di Moscow juga dilakukan oleh kapten mereka sendiri.

Roman Abramovich berharap agar malam di Moscow itu menjadi milik mereka. Sudah bisa dibayangkan, berapa besar biaya yang dikeluarkan sang taipan minyak asal Rusia itu untuk sampai di final. 

Layaknya seorang pejabat yang menikmati sore dengan menonton anak-anak bermain sepakbola dengan kaki telanjang di depan teras rumahnya ketika liburan, menyaksikan klubnya bertanding di Moscow rasanya seperti mendapat kado terindah di kampung halaman sendiri, apalagi jika menjuarainya.

Sayangnya, hujan yang mengguyur Stadion Luzhniki membuat lapangan menjadi basah dan licin. Mulanya, lapangan yang licin itu menguntungkan Chelsea ketika Frank Lampard mencetak gol penyama kedudukan. 

Sepakan Lampard bisa saja ditepis Van Der Sar yang tampil gemilang malam itu jika saja ia tidak 'terpeleset' lebih dulu. Namun, Dewa Sepakbola selalu bertindak seenaknya saja. 

Ia menyukai kejutan dan kerap menyajikan drama yang mendebarkan. Ia anti terhadap prediksi dan enggan berdamai dengan eksata dan rekor pertemuan. 

Apa yang dialami Van Der Sar kini berbalik. Dalam drama adu pinalti, Chelsea sudah unggul setelah Petr Cech menepis tendangan Cristiano Ronaldo, dan John Terry sebagai eksekutor terakhir tinggal memasukan bola ke gawang MU untuk membawa pulang trofi.

Sialnya, sang kapten terpeleset, dan piala menjadi milik publik Old Trafford. Empat tahun kemudian, drama Moscow berputar di Munchen. Chelsea menjadi juara setelah menaklukan tim tuan rumah Bayern Munchen dalam final dramatis dengan drama adu pinalti. 

Didier Drogba yang dikartu merah empat tahun sebelumnya menjadi protagonis; ia membuat Abramovich duduk santai di tribun dengan senyum yang lebar sambil bertepuk tangan mengikuti yel-yel yang digaungkan para suporter The Blues di Allianz Arena.

Abramovich akhirnya bisa meraih apa yang selama ini menjadi hasratnya. Uangnya bisa saja membeli pemain mahal (seperti Fernando Torres), dan membentuk tim kuat dengan pelatih hebat. 

Namun, untuk membangun suatu kejayaan (dan kemapanan) yang dapat bertahan lebih lama, tampaknya butuh waktu yang lebih lama. Sejak tiba di Stamford Bridge pada tahun 2003, Abramovich butuh hampir sepuluh tahun untuk membawa pulang trofi UCL.

(Bagian II, lihat di sini.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun