Tidak terasa sudah tanggal 21 April lagi. Sayup-sayup terdengar lagu “Ibu Kita Kartini” gubahan WR Supratman diputar entah dimana, mungkin dari sekolah dekat rumah sebagai salah satu peringatan akan kebangkitan wanita Indonesia.
“Ibu kita Kartini, putri sejati. Putri Indonesia, harum namanya. Ibu kita Kartini, pendekar bangsa, pendekar kaumnya untuk merdeka. Wahai ibu kita Kartini, putri yang mulia. Sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia.”
Lirik lagu itu melekat erat pada diri saya, bahkan mungkin salah satu penyebab saya sangat menyukai proses belajar di sekolah. Salah satu cita-cita Kartini yang kesampaian: puteri-puteri Indonesia dapat sekolah sampai jenjang yang setinggi-tingginya. Sampai sekarang Kartini tetap merupakan “ibu” bagi saya meskipun usia beliau saat meninggal jauh lebih muda dari usia saya sekarang.
Perkenalan saya dengan Kartini atau ibu kita Kartini dalam syair lagu gubahan WR Supratman terjadi sudah lama sekali. Sejak jaman uang pecahan sepuluh ribu rupiah masih merupakan pecahan uang terbesar di Indonesia, sebelum saya masuk taman kanak-kanak.
Gambar 1. Uang kertas sepuluh ribuan bergambar RA Kartini. Sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2012/02/12/dalam-uang-soekarno-lebih-narsis-daripada-soeharto-438332.html
Gambar belakang

Gambar 2. Sarjana wanita di belakang gambar RA Kartini Sumber: https://bogatika.wordpress.com/2011/03/08/mengingat-mata-uang-ri-masa-lalu/
Dalam pecahan sepuluh ribuan tersebut, tampak ibu kita Kartini di satu sisi dan gambar seorang sarjana perempuan di sisi lainnya. Dulu saya menganggap itu adalah foto ibu Kartini saat menjadi sarjana! Oleh karena itu saya menganggap kalau saya dapat mengumpulkan uang bergambar “ibu Kartini yang jadi sarjana” itu maka saya dapat juga menjadi sarjana. Jadi ketika diberi uang “sangu” oleh nenek sebesar Rp 5.000,00 untuk beli es, saya tolak. “Uangnya mau buat beli susu biar jadi sarjana.” Tapi tentu saja harus yang gambar ibu kita Kartini tidak lupa sambil menyanyikan lagu “ibu kita Kartini” setiap mendapatkan uang tersebut. (Ternyata sebagai anak-anak saya cukup materialistis. Hehe..)
Setelah beranjak dewasa, baru saya menyadari bahwa setidaknya ada dua orang Kartini dalam keluarga saya. Yang pertama nenek dari pihak ibu, yang kedua ibu sendiri.
Saya tidak akan malu memberi tahu semua orang bahwa nenek saya buta huruf. Nenek sama sekali tidak “makan bangku sekolahan” dan karenanya tidak dapat membaca. Berbeda dengan dua saudara laki-lakinya, keluarga buyut saya tidak menyekolahkan nenek saya yang perempuan dengan alasan “Perempuan kerjanya hanya di dapur.” “kanca wingking”. Sewaktu remaja, saat berjualan nasi di dekat sekolahan anak-anak Tionghoa, nenek pernah diejek-ejek anak-anak tersebut karena tidak dapat membaca. “Yu, koe ra isa maca ta? Nek tak apusi piye?” (“Mbak, kamu tidak bisa membaca? Bagaimana kalau nanti saya tipu?”). Saat itu nenek hanya berkata “Nggih monggo nek arep ngapusi.” (“Silakan kalau mau menipu saya.”) namun ternyata ada sakit yang begitu dalam sehingga nenek bersumpah untuk menyekolahkan semua anak perempuannya dengan jenjang yang sama dengan anak laki-lakinya. Janji itu dipenuhi saat ketiga anak perempuan nenek dapat disekolahkan sampai tingkatan setara SMA. Cukup tinggi untuk masa itu, terlebih dari tingkat ekonomi miskin seperti nenek. Itulah nenek saya yang meskipun buta huruf dan tidak dapat berkirim surat ke luar negeri dan membangun sekolah seperti Kartini, telah mengantarkan setidaknya anak-anak perempuannya ke bangku sekolahan, setara dengan anak-anak laki-laki.
Kartini kedua yang saya kenal dalam keluarga saya adalah ibu saya. Lahir dari keluarga miskin, ibu juga harus berjualan sejak kecil. Ibu bertugas mengantarkan minyak goreng yang dibuat kakek dan nenek ke pelanggan dengan cara berjalan sambil menggendong tenggok (sejenis bakul) yang berisi botol-botol minyak goreng. Botol yang digunakan terbuat dari kaca, jadi jangan tanya seberat apa beban yang dibawa ibu saya berjalan. Tugas ini harus dilakukan ibu setiap hari bahkan di masa-masa ujian. Jalan yang ditempuh juga tidak dekat. Terkadang ibu harus berjalan hampir mengelilingi kota jika pelanggan yang membeli rumahnya jauh. Semua ini dijalani ibu dengan tegar sampai berhasil menyelesaikan SPG (Sekolah Pendidikan Guru, setingkat SMA) dan menjadi guru.
Bayangkan, anak dari seorang perempuan buta huruf yang miskin menjadi seorang guru.
Mungkin naluri sebagai seorang guru atau semangat yang diturunkan dari nenek yang membuat ibu menekankan pentingnya pendidikan bagi kami sejak usia dini. Adik saya bahkan takut menjadi orang bodoh karena dalam pemahaman kami, orang bodoh tidak akan dapat bekerja dengan baik dan berakhir menjadi peminta-minta, seperti pengemis yang kadangkala terlihat di rumah. Itulah sebabnya sejak kecil saya sudah diperkenalkan pada Kartini ketiga yang saya kenal, yaitu “ibu kita Kartini” dalam uang kertas sepuluh ribuan, ibu Kartini yang “menjadi sarjana” dan menginspirasi saya dan adik saya untuk belajar terus dan mengisi pembangunan seperti yang diharapkan ibu Kartini.
Selamat hari Kartini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI