Tanpa gembar gembor, sebetulnya hampir di setiap daerah berdiri koperasi simpan pinjam. Alasan pendirian karena warga membutuhkan lembaga keuangan yang dapat diakses dengan mudah, tidak serumit perbankan. Mereka juga tidak memiliki agunan untuk memenuhi syarat perbankan. Terlebih mayoritas calon peminjam hanya membutuhkan Rp 500.000 – Rp 2 juta untuk memulai usaha atau tambahan modal usaha. Kendala timbul tatkala calon anggota harus membayar iuran. Pekerjaan kepala keluarga yang umumnya pengangguran tersembunyi menjadi penyebabnya. Jangankan iuran, untuk makan sehari-haripun mereka kerap berutang ke warung.
Membentuk bank sampah bisa menjadi salah satu solusi. Selama ini sampah masih menjadi masalah yang belum terpecahkan dii Indonesia, bahkan menurut laporan Jambeck (2015) , Indonesia menjadi penyumbang sampah anorganik kedua dilautan. Tak akan terjadi jika sampah sudah selesai sejak di hulu. Setiap kepala keluarga (KK) memilah sampah anorganiknya, menyetor ke bank sampah untuk dikelola dalam sistem koperasi simpan pinjam sehingga tidak saja menyelesaikan permasalahan sampah, juga menambah penghasilan keluarga. Manfaat lanjutan bisa diduga, perekonomian daerah setempat mengalami peningkatan dan kesenjangan bisa diperkecil secara signifikan.
Untuk menjamin kelancaran operasional koperasi, hanya dibutuhkan dukungan dari Kementerian Koperasi dan UKM berupa pemenuhan syarat administrasi dan pelatihan pembukuan agar koperasi bisa menyajikan laporan keuangan secara professional. Pembukuan yang rapi, transparan dan akurat, tidak saja dibutuhkan oleh pengurus dan anggota tapi juga merupakan langkah awal untuk ekspansi.
Ya, tidak hanya lembaga keuangan konvensional yang bisa membuka cabang. Koperasi bank sampahpun bisa, bahkan pasarnya masih sangat terbuka lebar. Kuncinya adalah perubahan paradigma bahwa sampah bukanlah materi sisa melainkan “emas” terpendam yang bernilai jutaan rupiah.
Kalkulasinya begini. Di setiap rukun warga (RW) seperti koperasi bank sampah Motekar berdomisili, terdapat sekitar 5 hingga 10 rukun tetangga (RT). Umumnya setiap RT terdiri dari sekitar 100 kepala keluarga (KK).
Andaikan dari 100 KK, 50 KK diantaranya mau menyetorkan sampah anorganiknya pada bank sampah senilai Rp 1.000/minggu maka dalam satu tahun, disetiap RW akan terkumpul rupiah:
5 RT x 50 KK x Rp 1.000 x 52 minggu = Rp 13.000.000
Hitungan diatas hanya mengandaikan 5 RT yang berpartisipasi dan 50 KK yang berkontribusi. Bisa dibayangkan jika seluruh warga mau menjadi anggota bank sampah, jumlah dana yang terkumpul untuk modal koperasi akan lebih banyak lagi. Sehingga tanpa bantuan dana hibah dari pemerintah daerah, mereka bisa swadaya memajukan daerah dengan produk yang khas daerahnya.
Perputaran uang di koperasi bank sampah Motekar, sangat cepat. Daftar tunggunya panjang sehingga pengurus harus menentukan pinjaman sesuai prioritasnya. Pada rapat anggota tahunan (RAT) 2013, koperasi bank sampah Motekar melaporkan perputaran sebesar Rp 11 juta rupiah. Kemudian sebesar Rp 35 juta pada tahun 2014, Rp 54 juta pada tahun 2015 dan Rp 97 juta di tahun 2016. Jumlah tersebut dipinjamkan dalam bentuk uang dan sembako.
Setiap manusia berkecenderungan untuk hidup lebih baik. Untuk menuju kondisi tersebut mereka mau melakukan apa saja asalkan tidak melanggar norma. Dan ajakan mengumpulkan sampah di rumah masing-masing, jelas merupakan tawaran yang mudah, tidak melanggar norma bahkan justru menjadi solusi bagi warga tidak mampu.