Mohon tunggu...
maria angie
maria angie Mohon Tunggu... mahasiswi

Halo saya Maria Angie Sianturi mahasiswa Akuntansi Perpajakan dari Universitas Pamulang.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pajak Bukan Sekedar Kewajiban tapi Cermin Kepercayaan pada Negara

11 Oktober 2025   00:30 Diperbarui: 10 Oktober 2025   21:30 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Membayar pajak sering dianggap sekadar kewajiban warga negara. Setiap tahun, masyarakat menyetor sebagian penghasilannya kepada negara, berharap dana itu digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan bersama. Namun, di balik kewajiban itu tersimpan makna yang lebih dalam yaitu pajak adalah cermin kepercayaan antara rakyat dan pemerintah.

Ketika rakyat percaya bahwa pajak dikelola dengan jujur, transparan, dan berpihak pada kepentingan publik, maka kepatuhan tumbuh secara alami. Sebaliknya, ketika rasa percaya itu pudar, pajak berubah menjadi beban yang dibayar dengan rasa enggan.

Pajak dan Krisis Kepercayaan

Hubungan antara pajak dan kepercayaan sebenarnya sangat sederhana, rakyat membayar karena yakin bahwa uang mereka tidak disalahgunakan. Tetapi realitas di lapangan sering menunjukkan sebaliknya.

Setiap kali muncul kasus korupsi, penyalahgunaan anggaran, atau gaya hidup mewah pejabat publik, rasa percaya itu langsung runtuh. Masyarakat pun mempertanyakan "Untuk apa saya membayar pajak kalau hasilnya tidak kembali ke rakyat?"

Rendahnya tingkat kepatuhan pajak sering bukan karena rakyat tidak mampu, melainkan karena mereka tidak yakin. Di titik inilah negara diuji, bukan hanya dalam mengumpulkan uang, tetapi dalam membangun moral dan kejujuran di balik sistemnya.

Beban atau Tanggung Jawab Bersama

Pajak seharusnya tidak dipandang sebagai beban, melainkan tanggung jawab bersama. Pajak adalah cara rakyat ikut serta dalam membangun negaranya. Tapi tanggung jawab itu hanya bisa tumbuh bila pemerintah juga menunjukkan tanggung jawab yang sama yaitu, mengelola setiap rupiah pajak dengan bersih dan terbuka.

Transparansi bukan hanya soal angka dalam laporan keuangan, tapi tentang kejujuran moral. Rakyat berhak tahu untuk apa pajaknya digunakan, apakah benar membangun sekolah, memperbaiki jalan, menyediakan layanan kesehatan, atau justru hilang di tengah proses.

Kepercayaan publik adalah pondasi utama sistem perpajakan yang sehat. Tanpa kepercayaan, negara akan sibuk menegakkan aturan, tapi hasilnya selalu terasa kurang.

Membangun Ulang Kepercayaan Pajak

Reformasi pajak yang sedang berlangsung perlu lebih dari sekadar perbaikan administrasi. Yang paling penting adalah membangun moral fiskal yaitu sebuah kesadaran bahwa pajak adalah amanah rakyat.

Ada tiga langkah mendasar yang perlu diperkuat.

Pertama yaitu transparansi nyata, negara harus membuka informasi penggunaan dana publik secara jelas dan mudah diakses masyarakat. Kedua adalah keadilan pajak, jangan sampai rakyat kecil menanggung beban yang sama beratnya dengan kelompok berpenghasilan tinggi. Pajak harus berfungsi sebagai alat pemerataan, bukan sekadar penagihan. Yang ketiga yaitu integritas aparat pajak, setiap kasus penyimpangan harus diusut tuntas tanpa pandang bulu. Karena satu tindakan curang saja bisa menghancurkan kepercayaan jutaan wajib pajak yang jujur.

Menjadikan Pajak Simbol Kepercayaan

Pajak bukan hanya kewajiban hukum, tapi juga simbol moral antara negara dan rakyat. Rakyat yang percaya akan rela membayar pajak tanpa paksaan. Negara yang dipercaya akan lebih mudah membangun tanpa harus memaksa.

Di sinilah makna sejati pajak yaitu bukan sekadar uang yang dipungut, melainkan komitmen timbal balik. Pemerintah wajib menjaga kepercayaan itu dengan keterbukaan, keadilan, dan integritas.

Karena pada akhirnya, pajak yang sehat hanya lahir dari negara yang dipercaya dan rakyat yang merasa dilayani.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun