Mohon tunggu...
Maria Setiyo
Maria Setiyo Mohon Tunggu... -

Biotechnology undergrad in Id.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Stunting dan Hak Akses Air Bersih di Jawa Barat

15 April 2019   08:51 Diperbarui: 15 April 2019   09:24 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.uniteforsight.org/urban-health/module5 

Air tidak dipungkiri lagi merupakan salah satu kebutuhan yang penting bagi mahkluk hidup. Hampir seluruh mahkluk hidup memerlukan air. Air menentukan kesejahteraan kualitas hidup manusia pasalnya air memiliki peran tidak hanya untuk mendukung kesehatan manusia saja tetapi juga mendukung pembangunan sosial dan ekonomi. 

Pentingnya air bagi kehidupan itulah menjadi dasar penetapan air sebagai salah satu hak seluruh rakyat yang harus dipenuhi oleh negara. 

Ketetapan mengenai hak seluruh rakyat Indonesia akan akses air bersih itu sendiri diatur dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar -- besarnya kemakmuran rakyat". 

Meninjau dari pasal tersebut, negara bertanggung jawab untuk mengatur pemanfaatan air bagi rakyat seadil -- adilnya.

Kontradiksi dari peraturan yang diatur tersebut, Jawa Barat menjadi salah satu provinsi yang sampai saat ini belum dapat menyediakan air bersih bagi seluruh masyarakat Jawa Barat. Pernyataan ini dapat dibuktikan oleh tingginya kasus waterborne disease (WBD) atau penyakit yang timbul akibat kurangnya sanitasi air yang dimanfaatkan. Kasus WBD yang dapat dikatakan parah kejadiannya adalah stunting. 

Menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes), stunting merupakan kondisi keadaan tubuh yang sangat pendek (kerdil), dibawah dari standard usianya yang biasanya terjadi pada anak -- anak diluar daripada faktor genetik. Stunting dapat disebabkan akibat kurangnya asupan gizi serta kondisi lingkungan yang kurang bersih. 

Data pada tahun 2017 yang terambil dari Persatuan Ahli Gizi Jawa Barat mencatat bahwa kasus kurang gizi di Jawa Barat sebesar 29.2%, angka tersebut melampaui batas angka minimal yang telah ditetapkan oleh WHO (World Health Organization), yakni dibawa 22%. 

Di tahun 2019, angka kejadian stunting pada anak di Kabupaten Indramayu masih mencapai 29,9%. Di Kabupaten Garut, angka stunting mengalami penurunan menjadi 38.2% setelah di tahun sebelumnya angka stunting di Garut mencapai 43.2%. 

Dilansir dari pemantauan yang dilakukan oleh Dinkes, wilayah Jawa Barat yang tinggi tingkat prevelensi stunting terdiri atas 14 Kabupaten. 14 Kabupaten tersebut yakni, Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Kabupaten Bandung, Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kuningan, Kabupaten Cirebon, Sumedang, Indramayu, Subang, Karawang, Kabupaten Bandung Barat, dan Majalengka. 

Melihat tingginya kasus yang terjadi serta banyaknya daerah yang tinggi prevelensi kasus stunting sampai saat ini sangat bertolak belakang dengan tekad Jawa Barat Zero Stunting pada tahun 2023.

Menurut Soebagyo, dll. 2013, beberapa indikator akses terhadap air minum yaitu, kualitas yang sesuai dengan Permenkes tahun 2010, kuantitas dan kemudahan harga maupun jarak atau waktu tempuh masyarakat dalam memperoleh air bersih. 

Menurut data yang dilansir dari Buletin Stunting tahun 2018, 70.5% rumah tangga di Jawa Barat sudah memiliki akses terhadap air bersih, sementara banyaknya rumah tangga yang sudah memiliki sanitasi yang layak di Jawa Barat hanya sebesar 64.6%. Melihat data -- data tersebut, masih terdapat daerah di Jawa Barat yang menggunakan air tanah ataupun belum dapat dijangkau pipa PDAM. 

Biasanya, wilayah Jawa Barat yang berada lebih jauh dari Ibukota dan wilayah yang berada dipinggiran merupakan daerah yang dapat dikatakan masuk wilayah yang susah akses air bersih. 

Adanya faktor ekonomi serta adat kebudayaan dapat dikatakan menjadi faktor utama, pasalnya masyarakat Jawa Barat yang terletak jauh dari wilayah ibukota akan memiliki kondisi ekonomi yang lebih rendah dibandingkan dengan wilayah yang lebih dekat dengan ibukota. 

Serta, pengaruh masyarakat Jawa Barat yang masih kental dengan pengaruh dengan adat atau kebiasaan yang dilakukan oleh leluhurnya. Sebagai contohnya, masyarakat yang berada di wilayah Gunung Gede yang tidak didukung oleh pipa PDAM yang tidak mencapai wilayah ini serta didukung dari kebiasaan yang diajarkan untuk mengambil air dari tanah atau dari sungai sekitar menyebabkan tingkat stunting atau penyakit WBD lainnya rawan terjadi di kawasan ini. 

Selain itu, kondisi daerah yang padat akibat tingginya tingkat migrasi ke daerah Jawa Barat menyebabkan wilayah  pemukiman menjadi lebih padat melebihi kemampuan kondisi lingkungan tersebut terutama sungai untuk melakukan purifikasi mandiri (self purification). 

Penurunaan kemampuan self purification menyebabkan sungai menjadi lebih banyak pencemar yang masuk daripada yang mengalami purifikasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa masyarakat dari beberapa daerah -- daerah pinggiran Jawa Barat  memiliki kebiasaan konsumsi air kotor.

Kebiasaan konsumsi air kotor artinya banyak mikroorganisme pathogen kontaminan di air yang juga ikut terkonsumsi dan mengganggu sistem di tubuh manusia. Hubungan antara konsumsi air kotor dengan stunting berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Korpe dan Petrie tahun 2012 menyatakan bahwa perubahan struktur vili di usus disebabkan akibat adanya pembengkakan di usus karena adanya infiltrasi mikroorganisme pathogen yang masuk ke dalam jaringan usus. 

Selain itu, tingginya jumlah mikroorganisme pathogen yang masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan aktifnya system imun yaitu intraepithelial lymphocytes (IELs) di permukaan jaringan epitel menyebabkan usus lebih permeable. 

Sistem imun lainnya yang memproduksi sitokinin yaitu interleukin 1 akan menyebabkan penurunan nafsu makan dan aktivitas metabolisme dalam tubuh karena peningkatan hormon leptin di dalam darah yang menyebabkan supresi asupan makanan sehingga menyebabkan stunting.

Usaha yang selama ini dilakukan oleh pemerintah sejauh ini dinilai hanya sebatas peningkatan kualitas fasilitas kesehatan dan penyuluhan berkala tanpa adanya usaha monitoring lingkungan yang dihubungkan dengan implikasinya terhadap masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. 

Data -- data diatas merupakan bukti bahwa masyarakat yang tidak memperoleh akses air bersih merupakan masyarakat kelompok risiko stunting, sehingga akses air bersih memang berhubungan dengan kasus stunting. Selain itu, data -- data diatas juga menggambarkan bahwa usaha pemerintah belum efektif untuk menekan kasus stunting yang terjadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun