Integrasi diri
Mungkin, konseptualisasi Aku dan aku terkesan seperti pemecahan diri (self-fragmentation/ compartmentalization) yang beresiko membuat orang semakin sulit memahami dan menerima dirinya sendiri. Bahkan mungkin beresiko memperkuat kecenderungan kritik diri berlebihan (self-criticism).
Perlu dipahami, bukan itu tujuannya.Â
Latihan membedakan Aku dan aku dilakukan dalam rangka membantu individu memahami secara lebih sederhana atas kompleksitas dirinya sebagai manusia. Namun, pada kelanjutannya, Aku dan aku perlu diselaraskan, diintegrasi (self-integration) untuk mencapai fungsi optimal.
Misalkan, ada perempuan yang mengalami trauma karena pernah mengalami pemerkosaan (seks tanpa persetujuan / non-consensual sex), lalu selanjutnya menjadi kesulitan menjalin relasi intim dengan lawan jenis.Â
Pengalaman traumatik ini begitu berat. Sebenarnya, ia tidak sanggup menerima dan berhadapan dengan dirinya yang dulu pernah dijarah tubuhnya. Ia menolak ingatan peristiwa itu dan label dirinya sebagai perempuan yang telah terjarah tubuhnya, lalu secara tidak sadar pengalaman ini ditekan ke bawah sadar (represi).Â
Sebagai akibatnya, kemarahan diri karena dijarah berubah menjadi penolakan pada orang yang beresiko menyakitinya dalam relasi intim. Ia menjadi sulit percaya pada lawan jenis, terutama ketika memunculkan niat seksual.Â
Dalam kondisi ini, salah satu cara membantunya adalah melatih gerak dinamis Aku dan aku. Aku diajak sadar mengamati aku yang traumatik. Aku membantu untuk menuju ke pemahaman bahwa pengalaman tubuh aku yang terjarah tidak berarti seluruh diriku rusak.Â
Aku dan aku yang selaras akan lebih mampu belajar bagaimana membedakan lawan jenis yang tulus dan tidak tulus dalam niat seksual. Aku dan aku yang terintegrasi akan mampu menyusun langkah-langkah membangun relasi yang lebih sehat di masa depan.
Diri yang berproses terintegrasi, akan lebih bisa mencapai penerimaan diri.