Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Tentang Menemukan Diri

2 Oktober 2021   16:14 Diperbarui: 27 Agustus 2024   18:52 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://catatanmini.com/

Contoh 2. Aku mengamati diriku yang tengah menjelaskan mengapa aku melakukan pelecehan seksual pada banyak anak di bawah umur selama ini pada Polisi. Aku melihat bahwa cara berpikirku lebih mengedepankan kebutuhanku daripada pikiran tentang dampak perbuatanku pada anak-anak itu; bahwa aku butuh seks dan anak-anak itu mau melakukan seks untukku karena posisiku yang lebih berkuasa dari mereka. Aku mengingat tipu daya dan ancaman yang aku gunakan untuk membuat mereka menurut. Aku berpikir, betapa hancur dan sedihnya korban-korban anak itu karena perbuatanku. Aku berpikir apa yang aku harus lakukan untuk memperbaiki situasi ini, apa bantuan yang harus aku dapatkan untuk merehabilitasi diriku yang telah salah.

Contoh 3. Aku mengamati diri aku yang tengah mengucapkan kata-kata kasar penuh amarah pada seseorang di hadapanku. Aku tengah memahami bagaimana aku menjadi marah karena orang ini merendahkanku sebagai perempuan. Lalu aku membalas hinaannya dengan kata-kata yang lebih kasar. Aku bisa saja hanya mengamati aku yang tengah bereaksi atas penghinaan dengan kemarahan. Tapi, Aku bisa juga membayangkan bagaimana jika aku melakukan reaksi yang berbeda, misalkan: mengubah reaksi marah menjadi menghela napas dan pergi menenangkan diri dulu. Atau membayangkan bahwa dampak keributan ini berpotensi merugikan aku di masa depan. Aku bisa menyelaraskan pikiran pada aku, untuk mengubah kemarahan menjadi upaya menenangkan diri. Aku bisa merubah aku.

Dari contoh-contoh tersebut, ada beberapa poin tentang Aku yang aktif - sebagai komponen diri yang adaptif:

  • Aku yang aktif bisa mengenali kesedihan dan bekerja untuk mengubah reaksi sedih menjadi cara-cara memulihkan diri.
  • Aku yang aktif bisa mengenali kemarahan dan bergerak untuk menyelesaikan persoalan/ketidakadilan yang terjadi agar sumber kemarahan bisa teratasi.
  • Aku yang aktif bisa mengidentifikasi aku-aku yang tidak lagi sehat, yang harus dirubah atau ditinggalkan, agar tidak terpaku pada cara-cara yang tidak lagi relevan untuk mencapai tujuan hidup saat ini.
  • Aku yang aktif bisa memberikan arahan agar diri bisa bergerak menyelaraskan keseluruhan diri (intelek, sifat/watak, bakat, emosi dan berbagai aspek pribadi lainnya) untuk mencapai tujuan dan perkembangan diri yang dianggap penting dalam hidup saat ini.
  • Aku yang aktif bisa menjadi agen perubahan diri menuju kondisi sehat dan sejahtera.

Oleh karena itu, penting untuk mengasah kemampuan mengenali diri ini, mengenali Aku dan aku. Lebih lanjut, penting untuk terus berupaya memperkuat Aku agar mampu mengelola keseluruhan diri demi mencapai mental yang sehat dan sejahtera.

Integrasi diri

Mungkin, konseptualisasi Aku dan aku terkesan seperti pemecahan diri (self-fragmentation/ compartmentalization) yang beresiko membuat orang semakin sulit memahami dan menerima dirinya sendiri. Bahkan mungkin beresiko memperkuat kecenderungan kritik diri berlebihan (self-criticism).

Perlu dipahami, bukan itu tujuannya. 

Latihan membedakan Aku dan aku dilakukan dalam rangka membantu individu memahami secara lebih sederhana atas kompleksitas dirinya sebagai manusia. Namun, pada kelanjutannya, Aku dan aku perlu diselaraskan, diintegrasi (self-integration) untuk mencapai fungsi optimal.

Misalkan, ada perempuan yang mengalami trauma karena pernah mengalami pemerkosaan (seks tanpa persetujuan / non-consensual sex), lalu selanjutnya menjadi kesulitan menjalin relasi intim dengan lawan jenis. 

Pengalaman traumatik ini begitu berat. Sebenarnya, ia tidak sanggup menerima dan berhadapan dengan dirinya yang dulu pernah dijarah tubuhnya. Ia menolak ingatan peristiwa itu dan label dirinya sebagai perempuan yang telah terjarah tubuhnya, lalu secara tidak sadar pengalaman ini ditekan ke bawah sadar (represi). 

Sebagai akibatnya, kemarahan diri karena dijarah berubah menjadi penolakan pada orang yang beresiko menyakitinya dalam relasi intim. Ia menjadi sulit percaya pada lawan jenis, terutama ketika memunculkan niat seksual. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun