Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pornografi Mengancam Pribadi, Relasi, dan Komunitas (Bagian II)

4 Februari 2021   22:17 Diperbarui: 27 Oktober 2021   16:50 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adiksi Pornografi - salah satu kecanduan non-zat| startribune.com

Pornografi juga meningkatkan permintaan akan penjualan manusia - human trafficking (Luzwick, 2017). Kebiasaan mengkonsumsi pornografi berisi kekerasan dan eksploitasi dapat membuat konsumennya terbiasa dengan seks menyimpang; lalu ingin mengalami apa yang dilihatnya (melakukan seks menyimpang). Perilaku seks menyimpang ini sering dikenai pada orang yang dikendalikan di pasar penjualan manusia, terutama perempuan dan anak (Luzwick, 2017). Ketika penjualan manusia menjadi lebih subur, artinya komunitas kita melemah karena tidak mampu melindungi manusia.

Apakah ada dampak positif pornografi?
Sebuah penelitian oleh Diamond dan kolega (2010) di Republik Ceko membandingkan jumlah kasus kekerasan seksual di masa kepemilikan pornografi dinyatakan illegal (sebelum 1989), dan setelah kepemilikan pornografi dilegalkan (1989-2007). 

Mereka menemukan terjadi penurunan jumlah kasus kekerasan seksual ketika kepemilikan pornografi dilegalkan; bahkan kasus kekerasan seksual anak turun ketika pornografi melibatkan anak (child pornography) dilegalkan. Mereka berargumen, bahwa pornografi menjadi substitusi kekerasan seksual; maka usulannya adalah melegalkan pornografi, termasuk pornografi anak (selama tidak melibatkan anak, atau hanya menggunakan obyek anak artificial).

Temuan menarik, tapi simpulannya tidak tepat. Secara kritis perlu dipahami bahwa penelitian yang hanya membandingkan jumlah kasus di dua waktu berbeda (dengan menggunakan metode statistik t-test) ini tidak bisa menjelaskan hubungan sebab-akibat. Perbedaan antara dua masa bisa disebabkan oleh banyak faktor, yang belum diteliti oleh riset ini. Misalkan: apakah terjadi penguatan regulasi dan hukuman atas kekerasan seksual, atau peningkatan pemahaman tentang kekerasan seksual; hal-hal ini bisa membuat orang menghindari melakukan kekerasan seksual. Oleh karena itu, simpulan riset ini tidak bisa dijadikan dasar legalisasi pornografi, apalagi pornografi anak.

Bisnis pornografi juga pernah diklaim memperkuat kesetaraan gender. Beberapa aktris menyampaikan bahwa mereka merasa lebih berdaya ketika bekerja di dunia ini, karena bisa mengekspresikan diri dan seksualitasnya secara terbuka. 

Dalam industri ini, bayaran aktris bisa lebih besar daripada aktor, sehingga perempuan di industri ini merasa lebih berdaya dibandingkan bekerja di bidang lain (red: riset menemukan gaji perempuan lebih rendah dari laki-laki di banyak sektor kerja lainnya). Bahkan beberapa atlet perempuan mau meninggalkan lapangan olah raga untuk menjadi bintang film porno karena tergoda bayaran yang sangat tinggi (Syihabuddin, 2020).

Pornografi juga dianggap oleh sebagian orang sebagai sumber belajar seksualitas. Tapi, jika lebih dari 40% pornografi dibuat berisi kekerasan dan penyimpangan seksual, apakah sungguh video porno bisa menjadi sumber belajar seksualitas yang sehat dan proporsional?

Sebaiknya, kita perlu sungguh-sungguh mempertimbangkan ulang peran pornografi dalam hidup modern kita. Apakah dampak positif pornografi sungguh bermakna jika dampak negatif pornografi yang harus kita tanggung atas pribadi, relasi dan komunitas jauh sangat merusak?

Di Jepang, di saat sebagian kaum mudanya merasa kesulitan dan kurang berminat membangun relasi intim dengan manusia lain (lebih tertarik pada seks dari porno-industri seperti manga, video porno, assisted sex service dan sex doll), maka jumlah keluarga yang dibangun menjadi jauh berkurang. Dampaknya jumlah anak atau regenerasi penduduk berkurang drastis. Jika pertambahan penduduk senior jauh lebih banyak daripada jumlah kelahiran/anak, artinya masyarakat masa depan bisa beresiko mengalami penurunan perkembangan sosio-ekonomi karena jumlah manusia usia produktif lebih sedikit, serta sumber daya yang ada akan terfokus untuk merawat generasi senior. Hal ini bisa menjadi ancaman keberlangsungan komunitas.

Simpulan
Pornografi telah memiskinkan seksualitas konsumennya, terutama laki-laki sebagai target konsumen terbesar pornografi saat ini. Pornografi membentuk perilaku seks terfokus pada diri sendiri yang beresiko menghancurkan perilaku seks sehat dengan pasangan intim.

Konsumen pornografi dikondisikan untuk terus mengakses seks bahkan untuk kebutuhan emosional non-seksual yang seharusnya didapat dari membangun relasi afektif dengan pasangannya.

Seks dikejar sebagai pelampiasan nafsu yang mengandalkan kuantitas bukan kualitas. Akibatnya, seks menjadi miskin, hambar tanpa keterhubungan emosional yang seharusnya menjadi dasar aktivitas seks bersama pasangan. Pada titik tertentu, bisa mengganggu relasi intim bersama pasangan, menghambat terbentuknya keluarga, bahkan merusak keluarga yang seharusnya menjadi pondasi komunitas. Pornogafi memiliki andil dalam menggerus komunitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun