Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Trauma KDRT dan Dampaknya Sepanjang Usia Perkembangan Anak-Remaja

28 April 2020   14:58 Diperbarui: 4 Desember 2021   10:33 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak-anak yang tinggal dalam lingkup keluarga yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) beresiko tinggi mengalami trauma atas pengalaman menyaksikan kekerasan, bahkan sebagian juga akhirnya turut menjadi korban penganiayaan.

Pengalaman menyaksikan, mendengar, mengalami kekerasan dalam lingkup keluarga dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh negatif pada keamanan, stabilitas hidup dan kesejahteraan anak (Carlson, 2000). Dalam hal ini, posisi anak menjadi korban secara tidak langsung atau dapat disebut sebagai korban laten (Margaretha, 2007; 2010). Anak-anak yang menjadi saksi peristiwa kekerasan dalam lingkup keluarga atau korban KDRT secara tidak langsung juga dapat mengalami gangguan serius dalam perkembangan, mental dan emosional, perilaku, kesehatan, dan kemampuan akademisnya di sekolah (Bair-Merritt, Blackstone & Feudtner, 2006; Emery, 2011; Ramsay dkk., 2002).

Penting untuk dipahami bahwa melihat kekerasan dalam rumah pada anak dapat menimbulkan persoalan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek seperti: ancaman terhadap keselamatan hidup anak, merusak struktur keluarga, munculnya berbagai gangguan mental; sedangkan jangka panjangnya, anak berpotensi terlibat dalam kekerasan dan pelecehan di masa depan (baik sebagai pelaku maupun korban).

Trauma menyaksikan dan/atau mengalami KDRT mempengaruhi berbagai dimensi kehidupan anak dan manifestasinya khas unik di masing-masing tahapan perkembangan manusia. Jika trauma KDRT terjadi dalam periode yang cukup lama, maka efeknya juga akan semakin buruk atas perkembangan anak; bahkan efek kumulatif akan terus mempengaruhinya hingga masa dewasa.

Oleh karena itu, tulisan ini fokus untuk mengulas apa dan bagaimana pengaruh KDRT pada perkembangan psikopatologi sepanjang masa kanak hingga remaja. Berikut akan diuraikan pengaruh trauma KDRT yang dapat terjadi pada masa kanak awal, masa usia sekolah dan masa remaja.

Dampak psikologis KDRT pada anak

Reaksi anak terhadap trauma KDRT bisa berbeda-beda. Karena sering melihat kekerasan di sekelilingnya, anak bisa menjadi cenderung agresif (externalizing problem behavior) atau bisa menarik diri dari lingkungan sosialnya (internalizing problem behavior). Hal ini akan dipengaruhi oleh jenis trauma dan lama trauma dialami si anak, serta pola kepribadian anak sendiri.

Lebih lanjut, penelitian longitudinal oleh Emery (2011) menemukan bahwa hubungan antara trauma menyaksikan KDRT dengan munculnya problem psikologis bisa melemah seiring bertambahnya usia anak pada saat menyaksikan KDRT pertama kali.

Kemungkinan munculnya problem perilaku akibat trauma KDRT menjadi lebih rendah jika KDRT dialami pada usia yang lebih tua; atau dengan kata lain, dampak trauma KDRT cenderung lebih berat jika anak masih berusia belia.


Masa kanak-kanak awal
Pada masa kanak-kanak awal (sejak lahir hingga 6-7 tahun), anak masih sangat tergantung pada pengasuhnya untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologisnya. Oleh karena itu, mereka mengembangkan kelekatan dengan pengasuhnya, biasanya ibunya. Hubungan antara anak dengan pengasuhnya dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya, dimana ciri kemampuan kognitif anak pada usia ini adalah pola pikir pre-operasional (Mc Devitt & Ormrod, 2002 dalam Vernon, 2009). Dalam masa ini, anak belajar lebih banyak dipengaruhi oleh apa yang mereka lihat atau dengar daripada hasil logika berpikir mereka. Oleh karena itu anak akan mengalami kesulitan untuk memahami hal-hal yang bersifat abstrak, contohnya seperti kesulitan memahami apa dan bagaimana makna kematian.

Dalam hal perkembangan diri, mereka masih berada dalam fase egosentris, artinya mereka berasumsi bahwa semua pikiran dan perasaan semua orang sama atau merujuk pada pikiran dan perasaan mereka, sehingga mereka sulit memahami situasi dari perspektif orang lain (Vernon, 2009). Secara emosional, mereka sedang belajar mengenali berbagai bentuk perasaan dan emosi, emosi apa yang perlu ditunjukkan, dan bagaimana menampilkan emosi dalam suatu konteks situasi. Lebih lanjut, keterbatasan perbendaharaan kata dan kepekaan penggunaan kata yang dimiliki mereka masih terbatas. Maka mereka masih sering menggunakan perilaku untuk mengungkapkan emosi atau perasaan mereka, contohnya: menangis dan melempar barang sebagai tanda perasaan marah.

Idealnya, anak pada masa kanak-kanak awal perlu mengembangkan kelekatan yang kuat (secured attachment) dengan pengasuhnya, dimana pengasuh akan berperan penting sebagai pemberi struktur dan sebagai panduan belajar dalam memahami dan mengendalikan emosi anak (Edleson, 1999).

Pada usia ini anak masih sangat bergantung pada pengasuhnya atas segala aspek kehidupan mereka. Itulah sebabnya, pengaruh negatif KDRT yang akan dialami akan lebih mendalam sepanjang hidup mereka (Huth-Bocks, Levendosky, & Semel, 2001). Anak usia ini yang menyaksikan KDRT dapat memunculkan lebih banyak permasalahan perilaku, permasalahan relasi sosial, gejala post-traumatic stress disorder, dan kesulitan mengembangkan empati jika dibandingkan dengan anak seusianya yang tidak menyaksikan KDRT (Huth-Bocks, Levendosky, & Semel, 2001).

Stress yang dialami balita muncul dalam berbagai gejala seperti: mudah menangis, kurang berkembang atau mundurnya kemampuan berbahasa dan toilet training (Osofsky, 1999); gangguan tidur, serta persoalan kelekatan dimana anak mudah takut dan stress jika ditinggal pengasuhnya (Lundy & Grossman, 2005). Juga ditemukan gejala psikosomatis seperti sakit kepala, sakit perut, asma, insomnia, mimpi buruk, tidur sambil berjalan, dan eneuresis (Cunningham & Baker, 2004 dalam Holt, Buckley, & Whelan, 2008). Gejala-gejala psikosomatis ini merupakan indikasi usaha ego mereka untuk melepaskan diri dari rasa takut atau kecemasan mereka yang disebabkan oleh stress menyaksikan KDRT.

Pertanyaan yang muncul dari sini adalah, bagaimana mekanisme munculnya permasalahan psikologis anak yang menyaksikan KDRT pada masa kanak-kanak awal?

Pemahaman anak pada usia ini atas KDRT sebagai konsep yang abstrak masihlah terbatas. Mereka dapat membuat simpulan-simpulan sederhana tentang apa itu KDRT dari apa yang mereka lihat sehari-hari, seperti KDRT adalah bekelahi atau memukul; namun pemahaman mereka atas bagaimana dan mengapa KDRT terjadi belumlah utuh.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa efek negatif KDRT terjadi secara tidak langsung pada saksi KDRT balita. Pengaruhnya negatifnya hadir secara tidak langsung melalui hubungan kelekatan yang rusak antara balita dan pengasuhnya. Ibu yang menjadi korban KDRT akan mengalami keadaan emosional yang negatif dan mendalam (emosi sedih, marah), hal ini membuat ibu kesulitan menyediakan kebutuhan emosi keamanan dan kenyaman yang konsisten bagi anak karena mereka sibuk dengan mengelola emosi negatif yang mereka alami sebagai korban KDRT. Terbagi di antara rasa sedih, marah dan takut dengan tuntutan memberikan rasa nyaman dan aman bagi anaknya.

Jika orang tua gagal memberikan dukungan emosional bagi balitanya, maka akibatnya kelekatan antara orang tua-anak menjadi lemah (Levendosky, Huth-Bocks, & Semel, 2002) atau pada beberapa kasus anak dapat mengembangkan kelekatan ambivalen atau disorganized attachment, dimana ibu dilihat sebagai sumber rasa nyaman dan juga rasa takut (Martin, 2002).

Anak yang dibesarkan ibu korban KDRT bisa kesulitan menentukan cara-cara untuk memenuhi kebutuhan afeksinya seperti rasa aman dan nyaman dari pengasuhnya (sikap ambivalen). Kelak, sikap ambivalen ini bisa membuat anak sulit mengidentifikasi, memahami dan memilih emosi yang tepat untuk diungkapkan dalam suatu relasi intim dengan orang terdekatnya.

Lebih lanjut, ibu yang mengalami KDRT juga tidak bisa berperan menjadi model/panduan pengelolaan emosi. Anak belajar dari mengamati, maka ia membutuhkan model untuk memahami dan mengungkapkan emosi yang tepat dalam suatu konteks sosial. Misalkan, frustasi ibu sebagai korban KDRT yang tidak tersalurkan bisa berujung pada perilaku kekerasan dalam pengasuhan anak. Ibu yang mengalami gangguan kesehatan mental, misalkan depresi, membuatnya kesulitan mengasuh anak, hal ini semakin memperburuk pengalaman negatif anak atas KDRT (McKlosky dkk., 1995 dalam Holt, Buckley, & Whelan, 2008).

Ibu korban KDRT yang depresi juga cenderung mudah melaporkan bahwa anak-anak mereka bermasalah atau sulit diatur. Hal ini belum tentu karena anak bermasalah, namun karena Ibu kewalahan mengelola perasaannya sendiri sehingga mereka kesulitan melakukan pengasuhan dan pengawasan anak (Edleson, 1999).

Masa usia sekolah
Pada masa usia sekolah (6-12 tahun) anak mulai mengembangkan kemampuan pemahaman emosi yang lebih kompleks. Oleh karena itu, mereka menjadi lebih mampu merasakan apa dan bagaimana perasaan mereka dan juga mampu memahami bagaimana perasaan orang lain.

Secara kognitif mereka juga mulai bergerak dari pola pikir pra-operasional menuju operasional konkret; dimana kemampuan berpikir menjadi lebih logis dan kemampuan memecahkan persoalan menjadi lebih baik. Kemampuan bahasa berkembang melalui eksplorasi dalam interaksi sosial, misalkan pertambahan kosakata akan dipengaruhi kata-kata yang digunakan dalam dialog dengan orang-orang di sekelilingnya. Akan tetapi, karena pola pikir yang masih konkret, masih belum memungkinkan mereka untuk mengolah hal-hal abstrak. 

Akibatnya, dalam berpikir mereka cenderung melompat pada simpulan tertentu tanpa berpikir untuk melihat berbagai kemungkinan atau alternatif lain terlebih dahulu (Vernon, 2009). Contohnya, jika ibu tidak memeluk saya seperti yang biasanya ia lakukan sebelum tidur, maka anak berpikir bahwa ada sesuatu yang ia lakukan sehingga membuat ibunya marah dan tidak mau memeluknya.

Secara personal, perkembangan diri mereka berkembang dari pemahaman akan atribut-atribut yang mereka miliki. Atribut psikologis atau fisik seperti, "saya pintar", atau "saya pendek" menjadi dasar pengembangan kompetensi dan harga diri (self-esteem) mereka. Pada masa ini, secara emosional mereka menjadi kritis terhadap diri sendiri dan peka terhadap masukan dari orang lain; oleh karena itu pada masa inilah anak akan mengembangkan emosi kompleks seperti rasa bersalah, malu dan harga diri (Cole & Cole, 1996 dalam Vernon, 2009).

Pada usia sekolah, dampak negatif trauma KDRT yang paling sering terlihat adalah kurang berkembangnya kemampuan sosial dan munculnya perilaku agresif, kesulitan menyesuaikan diri dan beradaptasi di lingkungan sekolah, serta munculnya perasaan sedih dan depresi (Grossman, 2005 dalam Vernon, 2009). Jika anak keterampilan sosial anak lemah, ia menjadi sulit menyelesaikan persoalan sosial. Ia bisa menjadi lebih reaktif-agresif atau menarik diri secara sosial ketika menghadapi konflik sosial. Misalkan, ketika bertengkar tengan teman bisa jadi mereka jadi memukul (agresif reaktif) atau selalu menghindari teman (menarik diri). Sebagai akibatnya, mereka sering ditemukan menjadi pelaku atau korban dari bullying (Bauer dkk., 2006). Dalam lingkup sosial, anak-anak ini juga bisa kesulitan mengikuti peraturan di sekolah, kurang mampu mengembangkan relasi yang bermakna dengan teman sebaya, serta sulit mempercayai guru.

Perkembagan sosio-emosional anak usia ini membuat mereka lebih mampu memahami tentang fenomena KDRT, terutama bagaimana perasaan ibunya yang menjadi korban (Daniel, Wassell, & Gilligan, 1999 dalam Holt, Buckley, & Whelan, 2008). Mereka juga mampu memahami alasan terjadinya KDRT dan melakukan prediksi kapan terjadinya KDRT di lingkungan rumah, bahkan pada kasus-kasus tertentu anak akan berusaha untuk mencegah terjadinya kekerasan di rumah berdasarkan pemahaman mereka tersebut.

Sayangnya, walaupun kemampuan kognitif dan emosional sudah ada, tapi jika disertai dengan sikap kritis pada diri sendiri, hal ini bisa membuahkan pemahaman KDRT yang kurang tepat. Mereka jadi menyalahkan dirinya sendiri. Sering, anak-anak yang hidup dalam keluarga yang mengalami KDRT berpikir bahwa mereka turut memiliki andil atau penyebab terjadinya kekerasan di rumah. Hal ini terjadi karena anak yang masih memiliki pola pikir egosentris, mengambil posisi kritis dengan menyalahkan diri sendiri atas terjadinya kekerasan pada ibunya (Vernon, 2009). Contoh pikiran-perasan yang muncul pada anak-anak yang menyaksikan KDRT di masa ini adalah: "karena saya nakal maka ayah marah-marah dan memukul ibu".  

Tidak jarang mereka akan berlogika bagaimana cara mencegah kekerasan terjadi di rumah ("saya akan berusaha tidak nakal agar ayah tidak marah-marah" atau "ayah memukul ibu karena rumah berantakan, maka saya akan membantu ibu memastikan rumah rapih"), bahkan bisa melakukan berbohong dan menutupi keadaan rumah dalam rangka menjaga kestabilan rumah dan keluarga. Jika tidak diresolusi, kesalahan berpikir ini dapat berpotensi menjadi dasar perilaku agresifnya baik secara sosial maupun dalam relasi intimnya di masa depan (Cunningham & Baker, 2004 dalam Holt, Buckley, & Whelan, 2008).

Masa remaja
Periode remaja berlangsung dari usia pubertas hingga usia kemasakan dewasa (11-12 tahun hingga 18 tahun). Pubertas ditandai dengan perubahan fisik dan hormonal.

Pada remaja awal (11-14 tahun), secara kognitif terjadi transisi secara bertahap dari pola piker operasional konkrit menuju operasional formal, dimana kematangan berpikir ditandai dengan kemampuan berpikir abstrak, meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dan kemampuan mengkaji persoalan dari berbagai perspektif (Kaplan, 2000 dalam Vernon, 2009). Perlu dipahami bahwa kematangan berpikir biasanya dicapai pada periode akhir masa remaja, namun waktu pencapaian kematangan berpikir ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan individual.

Seorang remaja dengan kemampuan penalaran formal belum tentu memiliki kapasitas pemahaman menyeluruh atas suatu situasi yang dialaminya. Misalnya: walau tahu orang tuanya tidak memperbolehkan pulang malam, remaja mudah akan mencoba menolak hukuman jika ia melanggar peraturan tersebut. Secara personal, remaja berusaha untuk membentuk pribadi yang unik dan lebih otonom.

Dalam pada remaja, usaha individuasi masih sering berhadapan dengan kebutuhan tergantung pada orang tua (tergantung secara ekonomi, psikologis dan sosial). Kebutuhan menjadi diri sendiri juga sering bersitegang dengan kebutuhan diterima oleh kelompok teman sebaya dan teman dalam relasi intimnya. Akibatnya, remaja akan menjadi sangat peka dan cenderung reaktif emosional terhadap persoalan yang berkaitan dengan orang tua dan remaja sebayanya.

Sedangkan pada individu masa remaja tengah-akhir (15-18 tahun), kemampuan berpikir secara formal telah berkembang sehingga lebih mampu melakukan perencanaan tentang masa depan yang lebih realistis. Secara personal, mereka berproses untuk mengembangkan identitas dan kemandirian, seiring dengan ini remaja juga mengalami tuntutan peran baru baik secara seksual, psikologis dan sosial sebagai individu yang berproses menuju kedewasaan. Kesuksesan dalam proses ini akan mempengaruhi tingkat kepercayaan diri-nya (self confident). Didukung dengan kedewasaan berpikir, remaja dalam tahap ini lebih mampu mengendalikan emosi dan perasaannya daripada remaja awal (Vernon, 2009).

Pada usia ini, remaja masih melakukan perilaku yang tidak konsisten antara sikap dan perilaku. Contohnya: mengetahui bahwa ia belum siap melakukan perilaku seksual, namun ketika diminta oleh pacarnya akhirnya mau melakukan perilaku seksual. Hal ini terjadi bukan karena keterbatasan kognitif sehingga mereka tidak mampu berpikir tentang alternatif lain, namun lebih dikarenakan keterbatasan pengalaman sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang kurang tepat.

Berbagai penelitian menunjukkan remaja yang menyaksikan KDRT menunjukkan banyak persoalan dalam relasi sosialnya, mereka mengalami kesulitan membentuk relasi intim yang sehat baik dengan teman sebaya maupun dengan teman dalam relasi intimnya (Levendosky, Huth-Bocks, & Semel, 2002).

Remaja yang menyaksikan KDRT ditemukan memiliki masalah kelekatan sosial terutama munculnya sikap sosial menjauh (avoidant attachment style) yang berarti bahwa mereka memiliki tingkat kepercayaan sosial yang rendah pada orang lain (Levendosky dkk., 2002).

Hal ini terjadi karena mereka menghidupi-ulang kesan/sikap/tindakan yang telah dipelajari dari keluarganya di masa kecil ke dalam relasi sosial masa dewasanya.

Berbagai riset menemukan trauma masa remaja berhubungan dengan munculnya tindakan kekerasan oleh laki-laki pada pasangannya di masa dewasa. Edleson (1999) menyatakan bahwa pengalaman menyaksikan kekerasan dalam keluarga dapat digunakan menjadi prediktor atas kemunculan perilaku KDRT pada laki-laki dan prediktor atas pengalaman viktimisasi pada laki-laki dan perempuan dalam suatu relasi intim di masa dewasa. Anak laki-laki yang pernah mengalami atau melihat KDRT lebih mungkin melakukan kekerasan dan penelantaran pada pasangannya kelak.

Remaja yang hidup di lingkungan KDRT ditemukan memiliki tingkat persepsi kontrol diri yang rendah dan distress personal, serta melakukan perilaku beresiko seperti eksperimentasi dan penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan (Goldblatt, 2003).

Namun perlu dipahami, tidak semua anak dan remaja yang mengalami dan atau menyaksikan KDRT akan memiliki masalah atar perilaku kekerasan. Mereka juga dapat menunjukkan sikap dan perilaku positif untuk membantu atau memberikan dukungan emosional dan dukungan praktis untuk Ibu atau korban kekerasan lainnya di keluarga. Anak dan remaja ini juga memunculkan perilaku merawat ibu, adik atau saudara sekandungnya. Ia bisa mengembangkan sikap melindungi anggota keluarga keluarga, walaupun sebenarnya pemahamannya tentang persoalan keluarga masih belum utuh.

Sayangnya, terkadang tindakan-tindakan prososial ini bisa memperburuk tekanan trauma KDRT bagi remaja. Ia menjadi lebih matang terlalu cepat. Tekanan harus segera "dewasa" membuat beban psikologis remaja bertambah, terutama ketika ia mengambil alih tanggung-jawab perlindangan dan pengasuhan dari orang dewasa di keluarganya.

Simpulan

Dalam penanganan kasus KDRT, penting diperhatikan secara seksama bagaimana dinamika psikologis masing-masing individu anak dan remaja dalam menghadapi pengalaman KDRT. Pemahaman atas dinamika psikologis korban serta memperhatikan tahapan perkembangan psikologisnya akan membuahkan model intervensi individual yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi anak. Dengan pendekatan kontekstual ini, maka kita dapat membantu proses intervensi dan pemulihan korban anak-remaja menjadi lebih optimal.

Oleh: Margaretha
Pengajar dan Peneliti di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya
psikologi forensik - KDRT

***

Referensi
Bair-Merritt, M., Blackstone, M., & Feudtner, C. (2006).Physical Health Outcomes of Childhood Exposure to Intimate Partner Violence: A systematic review. Pediatrics, 117,278-290.

Bauer, N. S., Herrenkohl, T. I., Lozano, P., Rivara, F. P., Hill, K. G., & Hawkins, J. D. (2006). Childhood bullying involvement and exposure to intimate partner violence. American Academy of Pediatrics, 118, 235-242.

Carlson, B. E. (2000). Children exposed to intimate partner violence. Trauma, Violence, and Abuse, 1, 321-342.

Edleson, J.L. (1999). Children's Witnessing of Adult Domestic Violence. Journal of Interpersonal Violence, 14, 839-869.

Emery, C.R. (2011). Behavior Problems and Exposure to Intimate Partner Violence Controlling for Selection Effects in the Relationship Between Child Behavior Problems and Exposure to Intimate Partner. Journal of Interpersonal Violence, 26, 1541-1558.

Fanani, E.R. (2006) Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga belum menjawab keadilan bagi korban KDRT. Sumber: http://www.bkkbn.go.id, akses: Agustus, 2007.

Goldblatt, H. (2003). Strategies of coping among adolescents experiencing interparental violence. Journal of Interpersonal Violence, 18, 532-552.

Holt, S., Buckley, H., & Whelan, S. (2008). The impact of exposure to domestic violence on children and young people: A review of the literature. Child Abuse & Neglect, 32, 797-810.

Huth-Bocks, A. C., Levendosky, A. A., & Semel, M. A. (2001). The direct and indirect effects of domestic violence on young children's intellectual functioning. Journal of Family Violence, 16, 269-290.

Levendosky, A. A., Huth-Bocks, A. C., & Semel, M. A. (2002). Adolescent peer relationships and mental health functioning in families with domestic violence. Journal of Clinical Child Psychology, 31, 206-218.

Lundy, M., & Grossman, S. F. (2005). The mental health and service needs of young children exposed to domestic violence: Supportive data. Families in Society, 86, 17-29.

Margaretha (2007). Hak anak dalam kekerasan dalam rumah tangga: Menilik penjaminan hak anak dan penyelesaian konflik pada anak yang berada dalam keluarga yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Disampaikan dalam Temu Ilmiah Nasional Universitas Airlangga, 2007.

Margaretha (2010). Children exposed to domestic violence: The latent victims. Disampaikan dalam Division of Forensic Psychology Conference from the British Psychological Society, pada tanggal 23-24 Juni di University of Kent, United Kingdom.

Martin, S. G. (2002). Children exposed to domestic violence: Psychological considerations for health care practitioners. Holistic Nursing Practice, 16, 7-15.
Martin, S.L., Gordon, T.E., & Kupersmidt, J.B. (1995). Survey of exposure to violence among the children of migrant and seasonal farm workers. Public Health Reports,110, 268-276.

Osofsky, J. D. (1999). The impact of violence on children. The Future of Children, 9, 33-49.
Suara Karya (2007) Artikel: Pemberdayaan Perempuan: KDRT hambat jiwa anak. Edisi Senin, 2 Juli 2007.

Vernon, A. (2009). Counselling for children and adolescents. Love Publishing Company: Denver.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun