Mohon tunggu...
Aba Mardjani
Aba Mardjani Mohon Tunggu... Editor - Asli Betawi

Wartawan Olahraga, Kadang Menulis Cerpen, Tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Robohnya Masjid Kami

23 Mei 2017   09:02 Diperbarui: 23 Mei 2017   19:15 1357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

DI dusun Cibaresah nama Badrun kondang bukan karena ia orang terpandang. Ia dikenal sebagai laki-laki paruh baya yang ke mana-mana kedua bibirnya selalu berkomat-kamit melafazkan salawat nabi. Allaahumma sholli ‘ala sayyidinaa Muhammad wa’alaa aalihii waashabihii ajma’iin...

Tak ada yang tahu sejak kapan Badrun selalu bersalawat seperti itu. Di tengah-tengah kebun, ketika tengah mencangkul untuk menanam pohon-pohon singkong, ia bersalawat. Di jalan, ketika pergi ke suatu tempat untuk suatu keperluan, ia bersalawat dengan kepala lebih banyak tertunduk. Pada keramaian, ketika mengunjungi pesta perkawinan kerabat, tetangga, atau sahabat, ia lebih suka bersalawat dibandingkan mengobrol dengan orang-orang di sekitarnya. Karena itu, juga tak ada yang tahu berapa jumlah salawat yang meluncur dari mulutnya setiap hari. Badrun pun tak pernah menghitung.

“Saya tidak tahu cara menghitung berapa kali saya bersalawat karena jumlahnya juga tidak penting, yang penting ikhlasnya,” katanya apabila ada yang bertanya.

Badrun dan istrinya tinggal tak jauh dari sebuah mesjid tua di sudut dusun. Tiga anaknya tak lagi tinggal bersamanya sejak menikah dan berumah tangga. Rumahnya terlalu kecil untuk ditempati lebih banyak dari dua orang karena hanya terdapat satu kamar tidur, satu ruang tamu, dan satu kamar mandi. Tak ada ruang khusus untuk salat.

Setiap hari dan setiap waktu Badrun melaksanakan salat di mesjid. Ia selalu datang sebelum seseorang selesai melantunkan azan. Ia sendiri tak pernah melantunkan azan karena ia mengaku suaranya tak bagus. Ia juga tak pernah mau jika diminta menjadi imam karena ia bilang tak hafal surah-surah yang harus dibaca.

Setiap hari Jumat, Badrun mendatangi masjid jauh lebih awal untuk salat Jumat. Ia sudah berada di sudut kanan masjid sebelum siapa pun datang. Setelah melaksanakan salat sunah tahiyatul masjid, Badrun pun seperti biasa tertunduk serupa patung dengan mulut tak pernah henti bersalawat. Ia baru berhenti ketika seseorang melakukan azan, lalu melaksanakan salat sunah qobliyah Jumat dua rakaat dan kembali tertunduk melafazkan salawat. Lalu berhenti lagi pada azan kedua dan menyimak khutbah Jumat.


Namun, ada yang berbeda pada Jumat kali ini. Para pengurus masjid tanpa sepengetahuan Badrun yang asyik dengan salawatnya, tengah kebingungan karena imam dan khatib Jumat tak satu pun hadir sementara waktu untuk salat Jumat tinggal hitungan menit. Ustadz Salman, ketua masjid yang biasanya jadi pengganti imam dan khatib yang berhalangan hadir pun tak ada di tempat. Ustadz Salman kabarnya tengah sakit dan tak bisa meninggalkan tempat tidurnya.

“Siapa mau menggantikan jadi imam dan khatib,” Abdul Razak, merbot mesjid bertanya kepada Saleh, sekretaris masjid. Saleh menggeleng. “Pak Saleh saja,” lanjut Abdul Razak.

“Tidak...tidak...jangan saya,” kata Saleh tergeragap.

“Lalu siapa?”

Abdul Razak dan Saleh mengedarkan pandang kepada para jamaah yang sudah berada di dalam masjid. Berharap menemukan sosok yang kemungkinan layak menjadi badal khatib dan imam sekaligus. Namun keduanya hanya menemukan orang-orang yang sama yang setiap Jumat datang untuk salat sebagai makmum. Tak ada yang nampak layak didudukkan di mimbar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun