Mohon tunggu...
Merciana
Merciana Mohon Tunggu... Dokter

Dokter. Penulis. Editor. Reviewer. Menghubungkan kesehatan dan humaniora lewat kata-kata yang jernih dan bermakna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Napas Terakhir Sang Guru: Ujian Sejati Seorang Profesor

5 Oktober 2025   07:00 Diperbarui: 1 Oktober 2025   21:31 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Sumber desain AI 

Foto: Almarhum-Prof. dr. Taufik, Sp.P. (K)(Sumber: dr.Feni Fitriani Taufik.Dok.pribadi)
Foto: Almarhum-Prof. dr. Taufik, Sp.P. (K)(Sumber: dr.Feni Fitriani Taufik.Dok.pribadi)

Tanggal 5 Oktober selalu mengingatkan kita pada para guru—pilar utama peradaban yang dirayakan dunia sebagai Hari Guru Sedunia oleh UNESCO. Namun di balik perayaan itu, ingatanku kembali menelusuri waktu, empat tahun yang silam, ketika sebuah kisah nyata tentang guruku mengajarkan arti sesungguhnya dari ketulusan dan pengabdian. Kisah sederhana itu pantas menjadi refleksi kita hari ini.

Profesor. Sebuah gelar yang menjadi puncak dari perjalanan akademik. Di tangan mereka lahir para doktor, calon-calon pemimpin ilmu pengetahuan yang kelak menerangi jalan banyak orang. Untuk mencapai gelar  doktor saja, dibutuhkan bimbingan seorang profesor beserta tim promotor. Namun, siapa yang menyangka---seorang profesor, dengan segala ilmunya, dengan segala capaian yang sudah diraih, ternyata di ujung hayatnya pun masih harus menghadapi sebuah ujian.

Bukan ujian di ruang kuliah, bukan sidang di hadapan rektor atau dekan, melainkan ujian langsung dari Sang Pencipta.

Kisah ini nyata, terjadi di sebuah rumah sakit rujukan Covid-19. Seorang profesor ahli paru, sosok yang selama hidupnya bergelut dengan ilmu pernapasan manusia, qadarullah harus berhadapan dengan virus yang menyerang paru-parunya sendiri. Oleh anaknya---yang juga seorang dokter paru---beliau segera mendapatkan perawatan intensif. Namun, setelah beberapa hari kemudian, kondisinya makin memburuk. Sesak napas menekan dadanya, membuat setiap helaan seperti sebuah perjuangan panjang. Ventilator pun disiapkan di ruang ICU karena inilah jalan terakhir yang bisa dilakukan tim medis untuk mempertahankan hidupnya.

Namun, sebelum ventilator itu dipasang, profesor ini meminta untuk menilai hasil CT scan dan pemeriksaan laboratorium. Dengan kejernihan seorang ilmuwan, ia membaca sendiri data tentang tubuhnya. Lalu, dengan ketenangan yang sulit dibayangkan, ia berkata, "Alat itu sebaiknya diberikan kepada pasien lain yang kemungkinan lebih besar untuk sembuh."

MasyaAllah.

Dalam hitungan jam setelah keputusan itu, beliau mengembuskan napas terakhir. Tenang, ikhlas, dan meninggalkan pelajaran yang jauh lebih berharga dari sekadar teori di ruang kuliah.

Saat itu saya teringat sebuah peristiwa lain, ketika seorang pejabat menggunakan kekuasaannya untuk merebut ventilator dari seorang ibu hamil yang juga kritis. Ironisnya, keduanya akhirnya meninggal dunia. Kekuasaan,  pangkat,  dan harta---semuanya runtuh tanpa daya ketika ajal menjemput. Akan tetapi, profesor ini memilih jalan lain dengan menyerahkan kesempatan hidupnya untuk orang lain. Di titik itulah kita menyaksikan, betapa ujian akhir manusia bukan lagi tentang kepintaran, melainkan tentang kebeningan hati.

Allah sudah menetapkan ajal setiap manusia. Tidak ada yang bisa mempercepat atau menunda, bahkan satu detik pun. Tetapi, di hadapan gerbang kematian, manusia tetap diberi kesempatan untuk memilih sikap. Dan profesor ini memilih untuk berbagi. Ia memilih untuk mendahulukan orang lain, meski taruhannya adalah nyawa sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun