Di era Orde Baru, kita menyaksikan bagaimana hegemoni politik menjelma dalam wujud lain, di mana Soeharto menerapkan kontrol yang ketat terhadap media, pendidikan, dan organisasi masyarakat. Langkah ini bukan sekadar sebuah upaya regulatif , melainkan bagian dari strategi yang lebih besar untuk membentuk kesadaran kolektif yang mendukung dan melanggengkan kekuasaannya, sekaligus mengekang ruang bagi tumbuhnya oposisi sebagai keeper nilai-nilai demokrasi yang sejati. Pemerintah dalam hal ini mengendalikan narasi publik atau dalam istilah postmodern Lyotard  disebut grand naratif yang berkembang di dalam masyarakat. Melalui kontrol penuh besar terhadap media massa, pemerintah dapat membentuk opini publik yang mengarah pada penerimaan ideologi pembangunan dan kestabilan politik yang dijalankan oleh rezim. Dalam ranah pendidikan, tindakan preventif berlaku, kurikulum pendidikan yang diawasi dengan ketat untuk memastikan bahwa pembentukan karakter generasi muda Indonesia sejalan dengan nilai-nilai yang mendukung agenda politik rezim, sehingga pemahaman dan ideologi yang diajarkan mencerminkan kepentingan kekuasaan yang dominan.
Dalam perspektif teori Gramsci, proses ini dapat dianalisis sebagai bentuk hegemoni ideologis, di mana kelas penguasa berhasil mengkonstruksi 'budaya bisu' dalam masyarakat sehingga mereka menerima ideologi dominan tanpa banyak perlawanan, diam, dengar dan ikut. Meskipun resistensi terhadap Orde Baru ada, namun bentuk perlawanan ini sering kali terbatas dan lebih bersifat pasif, seperti dalam kritik sosial yang hanya muncul di kalangan segelintir intelektual atau aktivis. Dominasi ideologi Orde lama dan Orde Baru menunjukkan betapa kekuasaan tidak hanya bermain di air keruh sehingga mudah ditebak, tetapi juga melalui air yang jernih, yakni melalui instrumen kontrol terhadap wacana dan kesadaran kolektif, yang pada akhirnya diterima oleh banyak orang sebagai norma yang sah. Masa pemerintahan Soeharto menjadi manifestasi sempurna dari leviathan yang mempunyai instrumen lengkap dalam dalam mengontrol pola pikir dan perilaku masyarakat.
Intelektual Organik dan Peran Budaya dalam Perjuangan Politik
Gramsci mengembangkan konsep "intelektual organik" untuk menjelaskan peran intelektual dalam perjuangan politik. Intelektual organik adalah mereka yang muncul dari kelas sosial tertentu dan memiliki kemampuan untuk mengorganisasi kelasnya dalam melawan kelas dominan. Mereka bukan hanya pengamat teori, tetapi juga kaum revoulioner yang terlibat langsung dalam merumuskan dan mengimplementasikan ideologi yang dapat menantang hegemoni.
Dalam konteks Indonesia, intelektual organik memiliki peran kunci dalam merumuskan dan menyebarkan ideologi alternatif yang berpotensi meruntuhkan hegemoni politik yang ada. Sejak masa perjuangan kemerdekaan, para intelektual Indonesia telah memainkan peran urgent dalam membentuk wacana publik yang menantang dominasi kolonial Belanda. Setelah kemerdekaan, peran intelektual tetap penting dalam kritik terhadap kekuasaan politik yang ada. Pada masa Orde Baru, intelektual juga berfungsi sebagai agen perubahan yang memperjuangkan demokratisasi dan hak-hak sipil yang lebih besar(Forgacs, 2000).
Dua periode masa pemerintahan Jokowi yang lalu, meskipun kebebasan berekspresi di ruang publik tampaknya sangat terbuka pasca reformasi namun dalam kenyataan sosial yang terjadi menunjukkan bahwa strategi kekuasaan mampu mengalihkan fokusnya pada pengendalian yang lebih subtil terhadap narasi yang berkembang dalam masyarakat. Melalui pengaruhnya  yang kuat terhadap media dan ruang digital, kontrol terhadap media dengan menempatkan tokoh-tokoh yang pro-pemerintah di posisi kunci media, yang dapat membentuk opini publik yang lebih mengarah pada legitimasi kekuasaan yang ada. Ini menciptakan sebuah paradoks di mana kebebasan tampak terjamin, namun pada saat yang sama, opini dan informasi yang beredar sering kali terstruktur sedemikian rupa untuk mempertahankan hegemoni yang ada.
Di tengah situasi ini, peran intelektual organik menjadi semakin krusial. Mereka yang mampu mengkritik hegemoni politik dan ekonomi yang otorotatif, serta memberikan pandangan oposisi dialektis yang dapat menggugah kesadaran kritis masyarakat, memegang tanggung jawab besar dalam menjaga integritas demokrasi Indonesia. Karena pada dasarnya, demokrasi bukan hanya soal kebebasan berbicara, tetapi meminjam istilah Habermas lebih merupakan force of better argument, kemampuan publik untuk mengolah argumen yang lebih rasional tentang sistem pemerintahan demokrasi yang lebih baik.
Hegemoni di Era Globalisasi: Tantangan terhadap Negara-Negara Berkembang
Gramsci juga memikirkan mengenai hubungan antara hegemoni nasional dan global. Dalam era globalisasi, dominasi internasional yang dikelola oleh negara-negara maju, terutama melalui institusi-institusi raksasa seperti Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund), sering kali memperkuat struktur hegemoni lokal. Negara-negara berkembang seperti Indonesia menjadi sasaran empuk, di mana kebijakan ekonomi dan sosial di Indonesia dipengaruhi oleh kekuatan internasional.
Indonesia, sebagai negara dengan posisi strategis di Asia Tenggara, menghadapi dilema besar dalam mempertahankan kedaulatan nasionalnya di tengah arus globalisasi yang menguat. Kebijakan ekonomi Indonesia yang sering kali dipengaruhi oleh tekanan dari lembaga-lembaga internasional itu menunjukkan betapa bangsa kita terjebak dalam tendensitas antara kepentingan domestik dan tuntutan global. Misalnya, dalam hal utang luar negeri, Indonesia terpaksa mengikuti syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh IMF, yang sering kali menuntut kebijakan pemotongan anggaran sosial atau liberalisasi pasar. Kebijakan-kebijakan tersebut, meskipun dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi ekonomi jangka panjang, sering kali mengorbankan kesejahteraan sosial rakyat, terutama di kalangan kelompok marginal.