Humor ini tidak meniadakan kritik; justru memperluas jangkauannya. Ketika isu ekonomi disajikan dalam bentuk lucu, ia bisa menjangkau jutaan penonton tanpa terasa seperti ceramah.Menariknya, konten ringan itu menumbuhkan empati. Banyak Gen Z yang mulai sadar bahwa "ketidakadilan struktural" bukan sekadar teori, melainkan kenyataan bersama.Di balik canda, ada kesadaran bahwa generasi mereka menghadapi tantangan besar: biaya hidup tinggi, pekerjaan tak stabil, dan standar sosial yang makin berat.Dengan menertawakannya, mereka bukan menyerah tapi mencari cara untuk tetap waras di tengah tekanan kota
Kesadaran sosial
Kesadaran sosial  mulai tercermin dalam pilihan gaya hidup. Banyak anak muda kota kini lebih suka mendukung produk lokal, brand dengan nilai sosial, atau gaya hidup yang lebih sederhana dan berkelanjutan.Gerakan "slow living", "no buy challenge", hingga "ngopi di warkop aja" menjadi simbol baru dari perlawanan terhadap budaya konsumsi berlebihan.
Kesadaran sosial tidak selalu muncul dalam bentuk demo besar. Justru, bentuknya kini lebih fragmentaris dan digital. Gen Z tidak malu lagi membicarakan kesulitan finansial, malah menjadikannya bahan cerita yang bisa mengundang empati dan solidaritas. Gerakan solidaritas lewat crowdfunding dan donasi digital (contohnya membantu pekerja harian atau keluarga korban). Influencer sosial yang mempopulerkan gaya hidup "realistis" Â mengajak bicara soal privilege. Isu kesenjangan menjadi bahasa solidaritas baru bukan permusuhan kelas, tapi ajakan memahami dan saling bantu..
Fenomena  lain yang dapat dibaca dari kesadarn sosial yaitu munculnya budaya Konsumsi yang sederhana. Muncul kesadaran bahwa "gaya hidup glamor" di media sosial sering tak sejalan dengan realitas finansial.Sebagian Gen Z mulai memilih produk atau brand yang punya nilai sosial, seperti produk lokal buatan UMKM. Komunitas digital mempromosikan slow living atau financial awareness.Narasi "hidup sukses di kota besar" mulai bergeser ke "bagaimana bertahan dengan waras dan bermakna". Kesadaran baru ini membuat generasi muda lebih reflektif, lebih sinis, tapi juga lebih peduli  tidak lagi apatis seperti stigma masa lalu.
Perubahan Sosial
Perubahan sosial tak selalu datang dari gedung parlemen ,kadang justru dari For You Page TikTok.Aktivisme yang Tidak Terlihat Keras, Tapi Nyata.Tak semua aksi harus berlabel "gerakan sosial". Kini, bentuk aktivisme bisa sesederhana membuat thread edukatif, video sindiran, atau kampanye donasi digital.
Mereka menggunakan bahasa yang mudah dicerna, kadang nyinyir, kadang jujur, tapi selalu mengundang diskusi. Aktivisme digital ini mungkin tampak ringan, tapi perlahan menggeser cara masyarakat memandang isu kesenjangan  dari "urusan politikus" menjadi "urusan kita semua".
Beberapa tahun terakhir, media sosial tak hanya jadi tempat berbagi foto dan hiburan, tapi juga ruang bagi anak muda untuk menyuarakan keresahan sosial. Di Twitter, TikTok, dan Instagram, isu-isu seperti ketimpangan ekonomi, biaya hidup, hingga beban sandwich generation kini ramai diperbincangkan---bukan lewat pidato serius, melainkan lewat meme, video lucu, dan komentar sarkastik.
Generasi muda, khususnya Gen Z, tumbuh di tengah kontradiksi besar: hidup di dunia yang serba digital, tetapi harus menghadapi realitas sosial yang makin timpang. Mereka bukan hanya menonton ketidakadilan, tapi juga mengalaminya secara langsung dari harga kos yang melambung, biaya pendidikan yang tinggi, hingga peluang kerja yang sempit. Dari sinilah tumbuh sebuah bentuk kesadaran sosial baru: reflektif, kreatif, dan sering kali dibungkus humor.
Namun, berbeda dari generasi sebelumnya, anak muda kini lebih berani membicarakan ketimpangan itu secara terbuka. Media sosial memberi mereka panggung untuk menyuarakan realitas yang dulu hanya jadi bahan obrolan pribadi. Kini, setiap unggahan bisa menjadi bentuk kritik sosial---meski disampaikan lewat tawa.