Mohon tunggu...
mardety mardinsyah
mardety mardinsyah Mohon Tunggu... pensiunan dosen

Hobi menulis, menggambar dan sedang belajar literasi digital

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Korupsi: Sistem yang Salah atau Hilangnya Integritas Moral?

12 September 2025   20:37 Diperbarui: 12 September 2025   20:37 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pepatah Yunani kuno berbunyi "Mens sana in corpore sano" --- jiwa yang sehat dalam tubuh yang sehat. Namun, pepatah itu kini seakan usang. Banyak orang yang tubuhnya sehat, tetapi jiwanya justru sakit. Buktinya, perilaku koruptif semakin merajalela di negeri ini. Korupsi bukan lagi sekadar perilaku menyimpang, melainkan sudah seperti wabah yang menjangkiti berbagai lapisan: pemerintahan, bisnis, bahkan masyarakat. Pejabat negara, yang seharusnya menjaga amanah rakyat, justru menjual kewenangan demi memperkaya diri. Badan sehat, tetapi jiwa keropos oleh keserakahan.

Korupsi yang Menggurita

Berita korupsi hampir setiap hari menghiasi media massa. Dari lembaga legislatif, eksekutif, hingga yudikatif---semuanya tak luput dari praktik kotor itu. Korupsi terjadi di ruang rapat mewah, di balik lobi restoran, bahkan di balik meja kantor yang seharusnya menjadi pusat pelayanan publik.

Korupsi bukan lagi sekadar tindak kriminal biasa, melainkan sudah menjelma menjadi budaya yang diwariskan dari satu generasi pejabat ke generasi berikutnya. Ibarat gurita, ia melilit setiap sendi kehidupan bangsa: mulai dari pengadaan barang dan jasa, perizinan, proyek infrastruktur, hingga rekrutmen pegawai negeri. Yang lebih menyedihkan, praktik ini kerap dilakukan secara berjamaah, seolah-olah telah menjadi norma tak tertulis di antara para elit.

Rakyat kecil tentu yang paling merasakan dampaknya. Dana yang seharusnya digunakan untuk membangun sekolah di pelosok, memperbaiki rumah sakit, atau menyediakan lapangan kerja justru raib masuk kantong pribadi segelintir orang. Tak heran jika jalan-jalan desa tetap berlubang, fasilitas kesehatan memprihatinkan, dan kualitas pendidikan jauh tertinggal.

Korupsi juga merusak kepercayaan. Bagaimana mungkin masyarakat percaya pada hukum, jika aparat penegak hukum sendiri terjerat kasus suap? Bagaimana rakyat bisa menaruh hormat pada wakilnya di parlemen, jika mereka sibuk memperkaya diri? Lambat laun, korupsi melahirkan apatisme sosial: rakyat jenuh, kehilangan harapan, dan akhirnya terbiasa hidup dalam ketidakadilan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang berhasil membongkar banyak kasus, tetapi ironisnya, kasus korupsi justru semakin marak. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah sistem negara kita yang salah, atau para pejabat sudah kehilangan integritas moral?

Reformasi yang Menyisakan Luka

Era reformasi seharusnya menjadi titik balik menuju demokrasi yang lebih bersih, setelah puluhan tahun bangsa ini hidup dalam bayang-bayang otoritarianisme Orde Baru. Amandemen UUD 1945 memberikan kekuasaan lebih besar kepada DPR, terutama dalam menentukan anggaran negara. Namun, ketentuan yang dimaksudkan sebagai wujud kedaulatan rakyat justru melahirkan mafia anggaran. Oknum DPR bekerja sama dengan pejabat kementerian menggerogoti APBN. Alih-alih menjadi pengawas, mereka justru berubah menjadi pelaku pencurian uang rakyat. "Pagar makan tanaman," demikianlah pepatah yang paling tepat menggambarkan situasi ini.

Sementara rakyat menjerit karena kemiskinan, pejabat negara menumpuk kekayaan haram. Di jalanan, massa berteriak "berantas korupsi", tetapi di balik layar, praktik korupsi berjalan terus tanpa henti.

Jiwa yang Sakit dalam Tubuh yang Sehat

Korupsi bukan hanya masalah sistem, tetapi juga masalah kerusakan jiwa manusia. Banyak pejabat memiliki tubuh yang sehat, tetapi jiwanya menderita berbagai "penyakit rohani" modern:

Egoisme

Menyerah pada stres atau lari dari masalah

Gangguan emosi (emosional tidak menentu)

Sinisme kronis

Kebiasaan menertawakan atau meremehkan orang lain

Tidak fokus (polyphasia)

Mudah tersinggung

Absensi psikologis (pikiran melayang ke hal-hal negatif)

Budak uang (chrono-currency)

Kehilangan makna hidup (spiritual deficit disorder)

Kehilangan gairah hidup (wearness)

Malas berkomunikasi (loss communication)

Gejala-gejala ini menunjukkan bahwa dunia kini ibarat rumah sakit jiwa raksasa. Banyak manusia hidup dengan jasmani yang bugar, tetapi batin mereka keropos, kehilangan kendali moral, dan rapuh menghadapi godaan kekuasaan maupun uang.

Jalan Keluar: Kembali ke Relung Religi dan Integritas

Perubahan zaman, kemajuan teknologi, dan derasnya arus globalisasi telah membuat hidup semakin kompleks. Namun, kompleksitas itu tidak boleh menjadi alasan untuk membenarkan perilaku koruptif. Jika penyakit rohani merajalela, obatnya adalah kembali ke sumber spiritualitas dan integritas moral.

Doa, nilai-nilai agama, serta pendidikan karakter menjadi benteng utama agar manusia tidak jatuh pada jurang keserakahan. Tanpa jiwa yang sehat, tubuh yang sehat sekalipun akan menjadi sia-sia. Korupsi hanya bisa diberantas jika sistem diperbaiki dan para pejabat negara menghidupkan kembali hati nurani mereka.

Dunia memang sudah sangat berubah, perubahan dalam teknologi diikuti oleh perubahan  kehidupan social dan peradaban. Dunia sudah berubah menjadi sebuah  rumah sakit jiwa yang besar, karena banyak orang menderita sakit rohani alias sakit jiwa. Muncul obat-obat  yang memberikan spritual power dan  emosional power,untuk mengobati sakit jiwa manusia.  Banyak anjuran untuk  masuk ke dalam relung religi, dalam  bilik bilik doa, agar terhindari dari macam-macam penyakit rohani   masa kini .

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun