Lebih dari seratus artikel di Kompasiana ini yang telah mengulas peristiwa meledaknya  Bom bunuh diri di Cirebon. Kejadian ini menimbulkan reaksi yang beragam, ada yang mengutuk,ada yang  kasihan pada keluarga bomber karena harus menanggung aib dan ada yang mempertanyakan kenapa anak muda rentan terhadap aliran keras sehingga bersikap radikal dan melakukan bunuh diri.
Memang Bom yang menyalak di Cirebon pada tanggal 15 April 2011 yang dilakukan oleh anak muda bernama   M. Syarif Astanagarif, umur 32 tahun itu sangat mengejutkan berbagai pihak. Peristiwa itu   terjadi di Mesjid Al-Daikra, kantor Polresta Cirebon Jawa Barat.  Ada dua hal penting disini yang melahirkan pertanyaan mendalam yaitu kenapa Bom di Mesjid dan kenapa  di kantor polisi.
Mungkin banyak analisis yang bisa dilakukan terhadap peristiwa di atas, karena peristiwa ini bisa dikaji dari dari sudut psikologi, sosiologi, dan logi-logi yang lainnya. Kejenuhan yang terjadi di ranah politik dan sosial serta bosan terhadap ritorika dan berbagai kedangkalan jiwa dalam proses perubahan sosial dewasa ini, juga dapat dijadikan alat analisis untuk membaca fenomena radikalisme yang menjangkiti anak-anak muda.
Tulisan ini ingin mencoba membaca fenomena radikalisme yang terjadi akhir-akhir ini  dari sudut pandang filsafat komunikasi, tepatnya peran komunikasi dalam melahirkan radikalisme pada perubahan sosial.
Dewasa ini terjadi perubahan mendasar dalam kehidupan manusia, perubahan itu terjadi ditingkat nilai karena terjadi perubahan konsep ruang dan waktu. Perubahan konsep ruang dan waktu ini disebabkan karena kemajuan teknologi komunikasi informasi.
Dengan teknologi komunikasi dan informasi seperti  internet, komunikasi tidak lagi mensyaratkan kesatuan waktu dan ruang. Waktu dan ruang berpisah, ketika waktu dan ruang berpisah, timbul percepatan dan dunia bergerak dengan cepat. Percepatan menimbulkan kerja yang berdesakan dan lahirlah hal-hal yang instan. Semua orang tungang-langgang mengejar masa depan yang tidak bernama.
Gelombang peradapan manusia sedang mengalami keadaan yang gonjang ganjing. Kekerasan dan ketidakadilan merajalela. Konflik kepentingan terjadi diberbagai lini kehidupan. Kemajuan teknologi komunikasi  informasi melahirkan reaksi beragam. Bagi sebagian orang kemajuan ini  dilihat sebagai alat membuat pikiran terbuka tetapi bagi sebagian orang melihat kemajuan ini sebagai ancaman sehingga muncul pendalaman ideologi yang fundamental dan lahirlah doktrin yang beraliran keras. Kejenuhan yang terjadi di ranah politik dan social serta bosan terhadap ritorika dan berbagai kedangkalan , maka anak  muda rentan terhadap doktrin  beraliran keras .
Bagaimana hal demikian bisa terjadi, dengan teori memetika kiranya dapat dijelaskan. Satu hal penanda manusia adalah kesadarannya. Unsur utama dari kesadaran adalah meme ( baca : mem), dan studi mengenai meme ini melahirkan teori memetika.
Teori memetika ini didasarkan pada teori evolusi Charles Darwin, yang dikembangkan oleh Richard Dawkins . Bila teori evolusi Darwin  berkisar pada perubahan tubuh yang digerakkan oleh gene (baca : gen) , teori Dawkins adalah teori perubahan dalam peristiwa sosial budaya, dimana Dawkins meyakini bahwa peristiwa social budaya mengalami evolusi seperti evolusi biologi dalam teori  Darwin.
Bila dalam teori Darwin evolusi biologi digerakan oleh gene, dalam teori Dawkins perubahan peristiwa sosial budaya digerakan oleh unsur kesadaran manusia yang disebutnya meme. Seperti gene,meme memiliki fungsi untuk melakukan pengganda diri sendiri (replicator) yang menggandakan diri dalam otak manusia . Meme adalah suatu unit informasi yang tersimpan di benak seseorang  yang mempengaruhi lingkungannya dan dapat menular secara luas ke benak lain dan mempengaruhi sikap dan tindakan sosial budaya.
Teori memetika dapat menjelaskan mengapa suatu aliran keras terus diproduksi dan diterima oleh orang –orang walaupun mereka sadar akan bahayanya. Jawabannya  adalah karena meme yang telah tertanam dalam benak orang dan menggandakan diri sekaligus merebut kesadaran si pemilik benak.