Saat kecerdasan buatan dan otomasi industri menjadi kiblat global, petani kita masih sibuk mengaduk pupuk manual, mengira-ngira cuaca, dan menebak pasar. Ironi ini rasa-rasanya semakin tajam ketika krisis pangan global mengancam. Menurut FAO, di tahun 2024 lebih dari 783 juta orang di dunia mengalami kelaparan kronis.Â
Indonesia sendiri, BPS merekam ketergantungan pada impor pangan strategis seperti gandum dan kedelai masih tinggi. Maka di sinilah kita dihadapkan pada pertanyaan mungkinkah Indonesia swasembada pangan? Jawabannya bisa jadi ya, jika kita berani merevolusi cara bertani lewat agroindustri dan smart farming.
Bukan Hanya Produksi, tetapi Desa Harus Berperan Sebagai Pusat Inovasi
Sudah saatnya desa tidak hanya menjadi penghasil bahan mentah, tapi harus menjadi pusat inovasi dan teknologi. Dengan keunggulan lahan, tenaga kerja, serta semangat gotong royong, desa dapat menjadi simpul utama transformasi pangan nasional. Teknologi pertanian presisi seperti sensor kelembaban tanah, irigasi otomatis, sistem pemupukan berbasis data, hingga drone penyemprot pestisida bukan lagi milik negara maju saja.
Jika para kepala desa memahami dan akhirnya memfasilitasi melalui dana desa, koperasi digital, atau BUMDes, desa bisa jadi inkubator agroindustri skala lokal. Contohnya, Desa Wringinputih di Magelang telah mengembangkan sistem irigasi pintar berbasis sensor IoT yang mampu menghemat air hingga 40%. Di Sumba Timur, pelatihan pertanian berbasis aplikasi cuaca dilakukan oleh Kemenkominfo, Ditjen Aptika, penyuluhan BPP.
Digitalisasi Lahan dan E-Commerce Pertanian
Digitalisasi lahan memungkinkan petani mengetahui kapan waktu tanam optimal, memprediksi hama, serta memperkirakan hasil panen. Sekalipun terdapat permasalahan internal, aplikasi seperti iGrow, TaniHub, dan e-Fishery pada awalnya menjadi penghubung langsung antara petani dan pasar, memangkas rantai distribusi yang selama ini terlalu panjang. Ini bukan hanya meningkatkan efisiensi, tapi juga memperkuat posisi tawar petani.
E-commerce pertanian yang terintegrasi dengan sistem logistik dan data produksi bisa menjadi motor penggerak baru ekonomi desa. Petani pada akhirnya tidak lagi tergantung pada tengkulak karena bisa langsung menjual ke konsumen melalui platform digital. Ini memberi nilai tambah sekaligus mempercepat proses literasi digital di desa.
Tantangan: Modal, Literasi, dan Mentalitas
Kenyataannya alan menuju smart farming tidak semulus angan-angan. Terdapat tiga tantangan utama diantaranya akses terhadap modal usaha, literasi digital, dan mentalitas konservatif. Petani kecil sulit menjangkau alat pertanian digital karena harga tinggi dan belum tersedia skema kredit teknologi pertanian yang terjangkau.
Sementara itu, kebanyakan petani belum familiar dengan teknologi digital, apalagi jika aplikasinya menggunakan bahasa asing atau butuh koneksi internet yang stabil. Tantangan infrastruktur digital di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) masih besar.
Mentalitas konservatif juga menjadi tembok tak kasatmata. Masih banyak orang yang menganggap bertani itu pekerjaan kasar, bukan profesi masa depan. Hal inilah yang menyebabkan generasi muda enggan turun ke sawah. Sehingga program agroindustri harus dibarengi edukasi berkelanjutan melalui SMK pertanian, kampus vokasi, komunitas digital desa, dan kampanye di media sosial.
Harapan: Kedaulatan, Inklusivitas, dan Kolaborasi
Smart farming itu tidak hanya tentang alat, tapi juga pola pikir dan sistem kerja baru. Smart Farming membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, petani, akademisi, swasta, dan pelaku industri digital. Dana desa dapat difokuskan pada pembentukan koperasi digital, pelatihan drone dan aplikasi, pembangunan WiFi publik, sampai kepada subsidi alat teknologi pertanian.
Kampus pertanian dan politeknik harus lebih aktif dalam program pengabdian masyarakat yang aplikatif, seperti mendampingi satu desa selama satu musim tanam, bukan hanya sosialisasi sehari. Start-up agritech juga harus memperluas jangkauan teknologi mereka agar menjangkau petani kecil, bukan hanya petani korporat.
Jika semua pihak bekerja bersama, agroindustri bisa menjadi jembatan emas menuju swasembada pangan. Bukan dalam wujud gudang beras berlimpah, tetapi dalam bentuk sistem pangan yang berdaulat, berakar dari desa, dikelola secara digital, dan berorientasi pasar.
Swasembada sebagai Gerakan Sosial dan Budaya
Lebih dari sekadar target ekonomi, swasembada adalah cita-cita kolektif yang membutuhkan gerakan sosial. Ini soal harga diri bangsa, tentang bagaimana kita memaknai pangan bukan sekadar komoditas, tapi juga identitas budaya. Negara agraris seperti Indonesia tidak boleh kalah dalam urusan pangan.
Untuk itulah, saat kita berbicara smart farming dan agroindustri, sejatinya kita sedang menggagas masa depan Indonesia yang lebih berdaulat, berkelanjutan, dan bermartabat yang dimulai dari desa.
Sudah saatnya petani menjadi inovator, desa menjadi laboratorium teknologi, dan kita semua, baik itu pembuat kebijakan, pendidik, pelajar, aktivis, maupun konsumen menjadi bagian dari solusi. Karena swasembada bukan sekadar mimpi, melainkan panggilan sejarah yang harus dijawab hari ini.
Sumber:
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI