PRRI atau Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia diumumkan di Padang Sumatera Barat pada 15 Pebruari 1958.
Ketika itu diadakan Rapat Raksasa di Padang dan Letnan Kolonel Ahmad Husein selaku pimpinan mengeluarkan ultimatum yang isinya agar Kabinet Juanda menyerahkan mandatnya kepada Presiden dengan waktu 5x24 jam dan Presiden diminta kembali kepada kedudukan konstitusionalnya.
Ultimatum ini ditolak oleh Pemerintah Pusat,bahkan Letkol Ahmad Husein dan kawan kawannya dipecat dari Angkatan Darat. Menyikapi hal tersebut maka Letnan Kolonel Ahmad Husein pada 15 Februari 1958 mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia di Padang.
PRRI membentuk kabinet dengan susunan: Syafruddin Prawiranegara (Perdana Menteri dan Menteri Keuangan), M.Simbolon (Menteri Luar Negeri), Dahlan Djambek (Menteri Dalam Negeri), Burhanuddin Harahap (Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman), Sumitro Djojohadikusumo (Menteri Perhubungan/Pelayaran), Moh. Syafei (Menteri PP&K dan Menteri Kesehatan);, F Warouw (Menteri Pembangunan), S.Sarumpait (Menteri Pertanian dan Perburuhan), Mochtar Lintang (Menteri Agama), M. Saleh Lahade (Menteri Penerangan), dan A.Gani Usman (Menteri Sosial).
Dari komposisi kabinet tersebut ada beberapa hal yang layak disimak. Secara kekuatan politik, kabinet ini terdiri dari tokoh tokoh partai Masyumi seperti Syafrudin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap serta tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI) yaitu Sumitro Djojohadikusumo.
Syafruddin Prawiranegara pernah menjabat Menteri Keuangan RI, Burhanuddin Harahap pernah menjabat Perdana Menteri RI, dan di masa pemerintahannya lah Pemilihan Umum 1955 diselenggarakan. Sedangkan Sumitro adalah ekonom terkenal. Kemudian dalam kabinet ini terdapat pula tokoh tokoh TNI Angkatan Darat seperti Kolonel M Simbolon (Panglima Teritorium I/Bukit Barisan yang berkedudukan di Medan) dan Kolonel Dahlan Djambek.
Ketika ultimatum disampaikan Letnan Kolonel Ahmad Husein dan ketika PRRI diumumkan, saat itu Presiden Soekarno sedang melakukan lawatan di luar negeri. Soekarno kembali ke Jakarta pada 16 Februari 1958 dan mengatakan kita harus menghadapi penyelewengan pada 15 Pebruari 1958 itu di Padang dengan segala kekuatan yang ada pada kita.
Dengan diumumkannya PRRI tersebut dan dengan sikap tegas Sukarno dan Kabinet Juanda serta Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Nasution maka berlangsunglah perang terbuka antara tentara Pemerintah Pusat (TNI) dengan pasukan PRRI. Pada Maret 1958 pasukan TNI (yang sering disebut Tentara Pusat) menyerang Padang sebagai pusat kekuatan PRRI. TNI menyerang Padang (Sumatera Barat) di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani dengan nama "Operasi 17 Agustus". Sedangkan operasi penumpasan PRRI untuk Tapanuli Selatan dipimpin oleh Kolonel Djatikusumo.
Perang Saudara itu berlangsung sekitar 3 tahun dan berakhir pada Agustus 1961. Pada masa itu pasukan PRRI yang berada di Sumatera Utara melapor secara resmi kepada TNI yang diterima oleh Jenderal Gatot Subroto di Balige (Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara).
Amnesti dan abolisi dikeluarkan oleh Presiden kepada mereka "yang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi", melalui Keppres 449 tahun 1961. Tentulah perang saudara selama 3 tahun itu juga telah membawa derita yang dalam bagi masyarakat di daerah konflik seperti di Sumatera Barat dan Tapanuli. Kalau disimak, lahirnya PRRI antara lain karena daerah daerah di luar Jawa khususnya di Sumatera pada waktu itu merasa tidak diperhatikan oleh Pemerintah Pusat.
Pada masa itu muncul rasa sentimen kedaerahan yang kuat terutama antara Jawa dan luar Jawa. Kini sesudah 60 tahun berlalu dengan mengingat kembali penderitaan pada masa itu saya merasa bersyukur sekarang negeri kita ini berada dalam keadaan damai. Semoga kedamaian ini terus tumbuh dan berkembang di republik yang kita banggakan ini dan peristiwa seperti PRRI itu tidak terjadi lagi.
Salam persatuan!