Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ada Apa dengan "Terlalu Baik" di Sekolah?

16 Oktober 2025   05:00 Diperbarui: 16 Oktober 2025   07:55 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Shutterstock

Pernahkah seorang guru merasa lelah luar biasa, padahal tidak sedang menghadapi minggu ujian atau akreditasi sekolah? Tidak ada proyek tambahan, tidak ada rapat darurat, tidak juga konflik yang menyita emosi. Tapi entah mengapa, tubuh terasa berat, kepala penuh, dan hati seperti kehilangan tenaga. Bisa jadi penyebabnya sederhana: terlalu sering berkata "iya."

Di sekolah, banyak pendidik terbiasa menolong---menggantikan rekan yang izin, menjadi panitia spontan, menyusun laporan mendadak, atau sekadar membantu "sedikit" urusan administrasi.

 Semua dilakukan dengan niat baik, tanpa banyak pikir. Namun di balik setiap "iya kecil" yang tampak sepele, ada harga yang pelan-pelan harus dibayar: hilangnya fokus, waktu, dan batas diri. Kelelahan yang muncul bukan sekadar fisik, melainkan eksistensial.

1. "Iya" Kecil, Harga yang Tak Kecil

Setiap "iya" yang kita ucapkan adalah bentuk kecil dari pengorbanan. Dalam ruang sekolah yang kental dengan semangat solidaritas, kata itu sering terdengar mulia. Namun, seperti garam dalam masakan, jika terlalu banyak, rasa keseluruhan menjadi berlebihan.

Pertama, fokus yang terpecah. Setiap permintaan tambahan ibarat membuka tab baru di otak. Dua atau tiga tab mungkin masih aman. Tapi ketika sudah belasan, pikiran menjadi seperti browser yang kelebihan beban: lambat, teralihkan, dan kehilangan kemampuan berpikir strategis. Guru sulit memusatkan perhatian pada hal penting---proses belajar yang bermakna, refleksi hasil mengajar, atau evaluasi diri.

Kedua, waktu yang tak bisa kembali. Jam-jam yang terpakai untuk tugas tak prioritas sejatinya adalah jam yang tidak akan kembali. Waktu itu mestinya bisa dipakai untuk membaca, mendalami kompetensi pedagogik, atau sekadar istirahat sejenak dari layar laptop. Ketika seseorang terus-menerus menukar waktunya demi kepentingan orang lain, ia perlahan menjauh dari panggilan profesionalnya sebagai pendidik.

Ketiga, batas diri yang kabur. Rasa sungkan dan takut mengecewakan sering membuat guru kehilangan kendali atas dirinya. Ketika "iya" diucapkan tanpa pertimbangan, batas antara pengabdian dan pengorbanan mulai pudar. Lama-lama, guru merasa tak punya ruang pribadi lagi---semua waktunya diambil, semua tenaganya diminta. Di titik ini, burnout tidak hanya soal kelelahan, tapi kehilangan makna dalam memberi.

Fenomena ini memperlihatkan sisi rapuh dari kebaikan. "Terlalu baik" bisa menjadi jebakan yang halus: seseorang tampak altruistik di luar, tetapi di dalam dirinya, perlahan terjadi pengikisan kesadaran diri. Guru yang terlalu sering memikul beban kolektif tanpa batas, lambat laun kehilangan kepekaan terhadap kebutuhan jiwanya sendiri.

2. Batas Diri: Antara Memberi dan Melindungi Diri

Dalam tradisi filsafat, batas bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk kebijaksanaan. Immanuel Kant menekankan pentingnya autonomy of will---kemampuan menentukan tindakan berdasarkan prinsip moral yang kita yakini sendiri, bukan sekadar mengikuti tekanan sosial. Sedangkan dalam pandangan Timur, khususnya Zen, batas diri merupakan keseimbangan antara memberi dan menjaga ruang kosong di dalam batin.

Menjadi pendidik yang baik bukan berarti harus selalu bersedia. Kebaikan yang tidak diimbangi kesadaran diri mudah berubah menjadi bentuk penyangkalan diri. Aristoteles menyebut kebajikan sejati ada di tengah---"the golden mean." Dalam konteks kerja di sekolah, keseimbangan itu berarti: tidak egois, tapi juga tidak meniadakan diri.

Kita sering memuji guru yang "tak kenal lelah" atau "selalu siap." Tapi jika dicermati, justru di situlah benih bahaya muncul. Guru yang tidak pernah berkata "tidak" lambat laun kehilangan kemampuan untuk menentukan prioritas. Ia tidak lagi menjadi subjek yang memilih, melainkan objek yang dipilih oleh keadaan.

Dalam konteks spiritualitas pendidikan, menjaga batas diri bukanlah bentuk egoisme, melainkan wujud tanggung jawab atas anugerah diri. Seorang guru yang bijak tahu kapan ia harus memberi, dan kapan ia perlu berhenti sejenak agar bisa memberi dengan lebih utuh. Seperti lilin yang menyala, ia paham bahwa terang hanya bisa dipancarkan jika sumbu dijaga agar tidak habis terbakar sebelum waktunya.

Kelelahan yang dialami banyak pendidik hari ini sesungguhnya lebih dalam dari sekadar keletihan fisik. Ia menyentuh ranah eksistensial---ketika seseorang kehilangan rasa bahwa apa yang ia kerjakan masih bermakna. Kierkegaard menyebutnya "the sickness unto death," sakit karena kehilangan diri sendiri di tengah kesibukan yang tampak mulia.

Maka, menata batas diri sejatinya adalah praktik etis dan spiritual: menjaga keseimbangan antara pelayanan dan keberadaan diri. Dari sanalah lahir kebajikan yang sehat, bukan kebaikan yang menghancurkan.

3. Kebaikan yang Cerdas: Seni Berkata "Tidak"

Kita terbiasa memaknai "tidak" sebagai penolakan terhadap orang lain. Padahal, sering kali "tidak" adalah bentuk persetujuan terhadap diri sendiri. Guru yang berani berkata "tidak" sebenarnya sedang mengatakan "ya" pada integritas, kesehatan, dan kualitas pengajarannya.

Masalahnya, budaya kerja di sekolah sering kali menganggap kesediaan total sebagai bentuk loyalitas. Rapat tambahan dianggap wajar, kerja lembur dinormalisasi, dan siapa yang paling sering membantu kerap dipuji sebagai "panutan." Padahal, loyalitas tanpa refleksi justru menumbuhkan budaya kerja yang tidak sehat.

Dalam dunia profesional, kemampuan menolak dengan hormat menjadi bagian dari kecerdasan sosial. "Tidak" yang bijak bukan tentang penolakan kasar, melainkan komunikasi jujur tentang kapasitas diri.

Menolak bukan berarti berhenti berkontribusi. Justru dengan menjaga kapasitas, seorang guru bisa memberi lebih baik dalam jangka panjang. Kebaikan yang cerdas bukan tentang seberapa sering kita hadir, tapi seberapa tepat kita hadir.

Sekolah juga perlu membangun budaya yang mendukung keseimbangan ini. Kepala sekolah, rekan sejawat, dan bahkan murid perlu belajar menghargai batas pribadi orang lain. Budaya sehat tidak mengukur dedikasi dari jumlah jam lembur, melainkan dari kualitas kehadiran dan kebahagiaan yang tercermin dalam interaksi sehari-hari.

Pada akhirnya, menjadi "terlalu baik" bukanlah tanda kesucian, melainkan potensi keletihan. Guru yang sehat bukan yang selalu siap menolong, melainkan yang tahu kapan harus diam, kapan memberi, dan kapan menjaga ruang untuk dirinya sendiri.

Mungkin kini saatnya kita mengubah paradigma: Kebaikan bukan tentang seberapa sering kita berkata "iya," tetapi seberapa jernih kita tahu kapan harus berkata "tidak." Karena dari kesadaran itulah, cinta terhadap profesi tumbuh bukan dari pengorbanan tanpa batas, melainkan dari keseimbangan yang memerdekakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun