Di sebuah sore yang lengang, mahasiswa tampak duduk berkelompok di sudut perpustakaan kampus. Bukan sekadar membaca buku, mereka menyalakan laptop, menempelkan catatan berwarna di papan tulis, dan berbincang hangat tentang ide bisnis sosial. Rak-rak buku menjulang tinggi di sekeliling, namun suasana yang terasa bukan lagi "ruang hening" yang kaku, melainkan arena kreatif tempat gagasan lahir. Pemandangan ini menandai transformasi besar: perpustakaan bukan lagi sekadar gudang penyimpan buku, melainkan ruang hidup yang menumbuhkan ide dan kolaborasi.
Relevansi di Era Digital
Pertanyaan mendasar muncul: apakah perpustakaan masih relevan ketika hampir semua informasi tersedia secara daring? Sebagian pihak menilai perpustakaan akan perlahan kehilangan fungsinya, tergerus mesin pencari dan platform digital. Namun kenyataannya, justru di tengah banjir informasi inilah perpustakaan menemukan peran barunya. Alih-alih hanya tempat meminjam buku, perpustakaan kini menjadi pusat literasi digital, ruang belajar bersama, bahkan ruang rapat paling nyaman untuk menemukan ide kreatif.
Transformasi ini bukan sekadar kosmetik. Ia menuntut perubahan paradigma, kebijakan, dan peran pustakawan. Seperti dicatat David F. Kohl (1986), manajemen perpustakaan harus selalu memikirkan fungsi lebih luas, termasuk relasi dengan pengguna, layanan instruksi, dan dukungan profesional. Dengan kata lain, perpustakaan adalah organisme hidup yang terus beradaptasi.
Google Books dan Arus Digital
Era digital telah membuka cakrawala baru. Proyek Google Books yang dimulai pada 2004 adalah salah satu tonggak penting. Hingga 2017, Google melaporkan telah memindai lebih dari 30 juta judul buku, dari sekitar 130 juta judul yang pernah diterbitkan di dunia (Jamridafrizal, 2017). Digitalisasi ini membuat akses pengetahuan lebih luas dan cepat. Sekaligus, ia menantang perpustakaan tradisional: bagaimana tetap relevan jika koleksi global bisa diakses lewat gawai pribadi?
Jawabannya adalah dengan mengubah fungsi. Perpustakaan tidak bisa hanya menjadi "penyimpan" koleksi. Ia harus menjadi broker pengetahuan: penghubung antara sumber daya (fisik dan digital) dengan pemustaka yang membutuhkan solusi. Dalam peran ini, perpustakaan tidak kalah dengan Google atau Amazon, karena ia menawarkan sesuatu yang unik: ruang sosial, pendampingan manusiawi, dan kepercayaan.
Ruang Rapat yang Melahirkan Ide
Dalam kerangka itu, muncul gagasan menjadikan perpustakaan sebagai ruang rapat paling nyaman untuk ide kreatif. Mengapa perpustakaan ideal bagi diskusi dan brainstorming? Setidaknya ada tujuh alasan utama.
Pertama, netralitas ruang. Perpustakaan bukan kantor atasan, bukan kafe yang penuh distraksi. Ia adalah ruang netral, di mana berbagai orang bisa bertemu tanpa hierarki kuat. Netralitas ini memudahkan terbentuknya percakapan egaliter dan terbuka, syarat utama lahirnya ide segar.
Kedua, ketersediaan inspirasi instan. Rak buku, majalah, arsip digital, hingga Google Scholar adalah reservoir ide. Ketika diskusi terhenti, cukup melangkah ke rak atau membuka basis data untuk menemukan konsep atau studi baru. Perpustakaan menjadi "ruang dengan dinding penuh jawaban".