AR (Augmented Reality) hadir sebagai inovasi yang mampu menjembatani teori dan pengalaman. AR memperkaya dunia nyata dengan objek digital interaktif. Murid dapat "berjalan" di antara reruntuhan Borobudur virtual, menyaksikan letusan gunung berapi simulatif, atau membedah anatomi tubuh tanpa risiko.
Ashburn dan Floden (2006) menegaskan bahwa teknologi pendidikan mesti diarahkan pada meaningful learning, bukan sekadar penggunaan alat digital. Dengan AR, pembelajaran berubah dari pasif menjadi pengalaman yang melibatkan indera, emosi, dan rasa ingin tahu murid.
Lebih jauh, design thinking dalam pendidikan menekankan pentingnya menghubungkan teori dan praktik (Hokanson & Gibbons, 2014). AR memberi ruang bagi murid untuk merancang, bereksperimen, dan mempresentasikan ide dalam bentuk visual tiga dimensi. Inilah esensi pendidikan bermutu yang siap menghadapi kompleksitas abad 21.
Sinergi Guru, Murid, dan Orang Tua
Transformasi ini hanya mungkin jika ada sinergi tiga pihak utama: guru, murid, dan orang tua.
Guru perlu bergeser dari peran instruktur menjadi coach. Mereka memotivasi, memfasilitasi, dan mendampingi murid menemukan jalannya sendiri (Stix & Hrbek, 2006). Johnson (2015) menambahkan, guru harus berani "menggugah otak murid" dengan metode kreatif.
Murid didorong menjadi pembelajar aktif. STEAM + AR membuka ruang proyek lintas bidang: menggabungkan fisika dan seni untuk membuat instalasi interaktif, atau matematika dan desain untuk menciptakan karya arsitektur digital.
Orang tua berperan sebagai mitra strategis. Mereka perlu mendukung dan menciptakan iklim rumah yang kondusif bagi eksplorasi.
Bush (2008) menekankan bahwa kepemimpinan sekolah harus mampu mengelola kolaborasi ini secara adil dan berkelanjutan. Tanpa sinergi, inovasi hanya berhenti sebagai jargon.
Tantangan Implementasi di Indonesia
Jalan menuju pendidikan bermutu dengan STEAM + AR tentu tidak tanpa hambatan.