Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Emosi Pemimpin adalah Atmosfer Sekolah

27 Mei 2025   06:56 Diperbarui: 27 Mei 2025   06:56 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada suatu pagi yang lengang di tengah perbukitan Lembata, seorang kepala sekolah bernama Pak Yosef berjalan menyusuri halaman sekolah dengan langkah perlahan. Ia bukan sekadar memastikan kesiapan apel pagi, tetapi juga sedang mempersiapkan dirinya sendiri --- secara mental dan emosional. "Kalau saya sedang marah, anak-anak langsung tahu dari sorot mata," katanya lirih suatu hari. Ia sadar, kehadirannya bukan hanya membawa keputusan administratif, melainkan juga gelombang energi yang bisa menenangkan atau mengguncang seluruh atmosfer sekolah. Setelah dua dekade memimpin, ia menyimpulkan satu hal: "Yang paling sulit bukan mengelola orang lain, tapi mengelola diri sendiri." Refleksi ini menjadi pondasi dari bentuk kepemimpinan yang sejati --- kepemimpinan yang dimulai dari dalam diri.

Banyak kepala sekolah merasa bahwa mereka harus selalu tegas, kuat, dan tidak menunjukkan emosi. Namun, studi demi studi justru menunjukkan sebaliknya: emosi pemimpin sekolah tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri, tetapi juga membentuk atmosfer psikologis seluruh sekolah. Ketika kepala sekolah panik, cemas, atau marah, guru dan siswa akan menyerap ketegangan itu---seperti spons yang menyerap air. Pemimpin yang mampu mengelola emosinya akan menciptakan ruang kerja yang lebih stabil, inklusif, dan kondusif untuk pertumbuhan semua pihak.

Daniel Goleman (1995) dalam bukunya Emotional Intelligence menegaskan bahwa kemampuan mengelola emosi adalah indikator kuat dari efektivitas kepemimpinan. Seorang pemimpin yang memahami dan mengatur emosinya dengan baik akan lebih mampu membina relasi, merespon konflik dengan bijak, serta membuat keputusan yang tidak impulsif. Di lingkungan sekolah, hal ini sangat krusial. Guru akan merasa aman bekerja di bawah pemimpin yang tidak mudah tersinggung. Siswa pun akan lebih berani mengemukakan pendapat jika pemimpinnya tenang dan empatik.

Lebih jauh, self-regulation---kemampuan untuk menahan impuls dan mengelola stres---merupakan keterampilan yang sangat dibutuhkan dalam kepemimpinan pendidikan. Ketika konflik muncul antara guru, orangtua, atau antarstaf, pemimpin yang reaktif hanya akan memperkeruh suasana. Sebaliknya, pemimpin yang reflektif akan melihat lebih dalam ke akar persoalan dan menjadi mediator yang mendamaikan. Ini bukan soal teknik komunikasi semata, tetapi hasil dari kerja batin yang berkelanjutan untuk tetap hadir dalam kesadaran penuh.

Di sinilah pentingnya membangun budaya emosi sehat di sekolah. Kepala sekolah dapat memulainya dengan membiasakan percakapan yang jujur dan terbuka tentang emosi---bukan dalam bentuk curhat tak berujung, tetapi dalam kerangka profesional yang menyadari bahwa manusia bekerja bukan hanya dengan kepala, tetapi juga dengan hati. Workshop sederhana tentang emotional literacy bagi guru dan tenaga kependidikan dapat membantu seluruh komunitas sekolah membangun kosakata emosi, meningkatkan empati, dan memperkecil miskomunikasi yang bersumber dari prasangka atau interpretasi yang keliru.

Kesadaran emosi juga melatih pemimpin untuk menjadi pendengar yang baik. Dalam banyak kasus, guru tidak butuh solusi instan. Mereka hanya ingin didengarkan dengan tulus. Ketika kepala sekolah mampu hadir tanpa menghakimi, tanpa langsung memberi nasihat, sebuah kepercayaan akan tumbuh. Dari kepercayaan inilah perubahan lahir. Maka benarlah ungkapan yang mulai diterima banyak praktisi pendidikan hari ini: bahwa yang paling menentukan bukanlah seberapa cerdas strategi kita, melainkan seberapa dalam koneksi emosional yang berhasil kita bangun di ruang sekolah.

1. Kepemimpinan Dimulai dari Kesadaran Diri

Kesadaran diri bukan sekadar kemampuan mengenali emosi, tetapi fondasi utama bagi semua tindakan seorang pemimpin. Pemimpin yang tidak menyadari emosi pribadinya mudah terjebak dalam reaksi impulsif. Di lingkungan sekolah yang dinamis dan penuh tekanan, respons emosional yang tidak terkendali bisa berdampak destruktif --- dari keputusan yang tergesa-gesa hingga hubungan yang renggang dengan guru dan siswa.

Kepemimpinan reflektif membutuhkan waktu hening untuk membaca keadaan batin. Dalam konteks ini, praktik jurnal pribadi, meditasi harian, atau dialog batin bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan. Pemimpin yang mampu menyadari pikiran dan perasaannya sendiri akan lebih jernih dalam membaca situasi, lebih adil dalam mengambil keputusan, dan lebih tenang dalam menghadapi konflik.

Kesadaran diri juga mencakup pengenalan terhadap kekuatan dan keterbatasan pribadi. Seorang kepala sekolah yang memahami bahwa ia lemah dalam aspek tertentu akan lebih terbuka untuk belajar, berbagi tanggung jawab, dan membangun tim kerja yang saling melengkapi. Hal ini menciptakan budaya organisasi yang inklusif dan kolaboratif.

Dalam literatur psikologi kepemimpinan, kesadaran diri merupakan salah satu komponen utama dari kecerdasan emosional (Goleman, 1995). Tanpa kesadaran diri, empati pun hanya menjadi basa-basi. Sebaliknya, ketika pemimpin mampu memetakan dinamika batinnya, ia dapat hadir secara utuh dan autentik dalam setiap perjumpaan dengan warga sekolah.

Maka, menjadi sadar diri adalah syarat awal untuk membangun relasi yang sehat. Kepemimpinan bukan tentang pencitraan, melainkan tentang kehadiran. Dan kehadiran yang sejati hanya mungkin jika seseorang terlebih dahulu hadir bagi dirinya sendiri.

2. Mengelola Emosi: Kekuatan yang Menghidupkan atau Meluluhlantakkan

Dalam satu rapat dewan guru, Ibu Sari --- kepala sekolah di sebuah SMP negeri di pinggiran kota --- pernah marah besar karena merasa tidak dihargai. Ia meninggalkan ruang rapat tanpa kata. Esoknya, beberapa guru mengajukan mutasi. Kejadian itu membuatnya merenung dalam. Ia lalu mengikuti pelatihan manajemen emosi, dan menyadari betapa kuatnya dampak emosinya terhadap orang lain.

Mengelola emosi bukan berarti menekan atau menyembunyikan perasaan, melainkan mengakui, memahami, dan mengekspresikannya secara tepat. Emosi seperti marah, kecewa, dan takut adalah sinyal. Bila dikenali dengan bijak, ia bisa menjadi pintu masuk untuk memahami masalah yang lebih dalam --- baik dalam diri sendiri maupun organisasi.

Daniel Goleman menyebut pengelolaan diri (self-regulation) sebagai inti dari kepemimpinan yang stabil dan efektif. Pemimpin yang mampu mengelola emosinya akan lebih tahan terhadap tekanan, tidak mudah reaktif, dan mampu menciptakan suasana kerja yang kondusif (Goleman, 1995).

Di sekolah, emosi kepala sekolah bagaikan gelombang yang menyebar ke seluruh penjuru. Emosi positif bisa membangun semangat dan kebersamaan. Sebaliknya, emosi negatif yang tidak dikelola bisa menciptakan atmosfer penuh ketegangan. Inilah mengapa pengelolaan emosi bukanlah urusan personal semata, tetapi juga tanggung jawab sosial.

Menjadi pemimpin berarti siap menghadapi badai tanpa menjadi badai itu sendiri. Ini bukan soal menahan diri secara artifisial, melainkan menumbuhkan kedewasaan emosional melalui refleksi dan latihan batin yang terus menerus.

3. Empati sebagai Nafas Kepemimpinan Sekolah

Empati bukanlah kelembutan semata, tetapi kekuatan transformatif. Ketika seorang kepala sekolah mendengar cerita siswa yang kehilangan orang tuanya, atau guru yang tengah mengalami tekanan keluarga, dan mampu hadir dengan tulus --- tanpa menghakimi, tanpa buru-buru memberi solusi --- di situlah empati bekerja.

Empati memungkinkan pemimpin membangun hubungan autentik. Ini bukan relasi vertikal penuh kekuasaan, melainkan jejaring horizontal yang mengikat komunitas sekolah dalam kepercayaan. Di lingkungan seperti ini, guru merasa dihargai, siswa merasa didengar, dan perubahan menjadi mungkin karena semua merasa memiliki.

Penelitian membuktikan bahwa kepemimpinan yang berbasis empati meningkatkan loyalitas dan motivasi kerja (Avolio & Gardner, 2005). Dalam konteks pendidikan, empati juga menciptakan ruang aman bagi tumbuhnya inovasi dan keberanian mencoba hal baru.

Namun empati juga bisa melelahkan jika tidak diiringi dengan batas sehat. Pemimpin perlu menjaga energi empatinya agar tidak larut dalam drama atau kehilangan objektivitas. Oleh karena itu, keseimbangan antara empati dan ketegasan menjadi kunci.

Empati bukan hanya keterampilan interpersonal, tetapi juga spiritualitas yang hidup. Pemimpin yang berempati tidak hanya memimpin dengan kepala, tetapi juga dengan hati --- dan itu mengubah segalanya.

4. Latihan Reflektif: Membentuk Pemimpin yang Terbuka dan Tangguh

Kesadaran dan pengelolaan diri tidak hadir dengan sendirinya. Ia lahir dari kebiasaan refleksi yang konsisten. Kepala sekolah yang mengalokasikan waktu harian atau mingguan untuk meninjau kembali pengalaman, emosi, dan keputusan yang telah diambil, sedang membangun pusat gravitasi batin yang kuat.

Latihan ini bisa sederhana: menuliskan pengalaman sehari dalam jurnal, bertanya "apa yang membuatku reaktif hari ini?", atau berbicara dengan mentor untuk mendapatkan perspektif baru. Dalam refleksi yang jujur, pemimpin belajar mengenali pola-pola yang selama ini tidak disadari.

Refleksi juga membantu pemimpin menjauh dari sikap defensif. Ia tidak takut mengakui kesalahan karena tahu bahwa kerendahan hati adalah bagian dari kekuatan. Ia tidak merasa perlu selalu sempurna, tetapi terus belajar menjadi lebih baik.

Sekolah adalah arena yang sangat kompleks --- penuh tekanan administratif, ekspektasi publik, dan dinamika sosial. Tanpa refleksi, pemimpin bisa terjebak dalam autopilot dan kehilangan arah. Dengan refleksi, ia tetap terhubung dengan makna dan misi kepemimpinannya.

Seperti disarankan oleh John Dewey, pendidikan adalah rekonstruksi pengalaman (Dewey, 1938). Maka, pemimpin yang terus merefleksi dirinya sedang menjalankan pendidikan bagi dirinya sendiri --- dan itu akan memancar ke seluruh komunitas sekolah.

5. Mengenali Gaya Kepemimpinan: Menemukan Diri dalam Peran

Tidak semua orang cocok menjadi pemimpin karismatik yang memukau, atau pemimpin visioner yang penuh gebrakan. Mengenali gaya kepemimpinan pribadi penting agar seorang kepala sekolah dapat memimpin dengan nyaman, efektif, dan autentik.

Gaya otoriter, demokratis, atau transformasional memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Yang terpenting bukan memilih gaya yang "paling hebat", tetapi gaya yang paling sesuai dengan kepribadian dan konteks. Misalnya, di sekolah dengan budaya paternalistik kuat, pendekatan coaching bisa lebih efektif ketimbang konfrontasi frontal.

Asesmen seperti Leadership Style Inventory atau Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) bisa menjadi alat bantu awal untuk mengenali kekhasan diri. Namun lebih penting dari itu adalah umpan balik dari tim dan refleksi harian atas interaksi dengan warga sekolah.

Mengenali gaya kepemimpinan juga membantu dalam membangun tim yang seimbang. Kepala sekolah yang cenderung perfeksionis bisa melengkapi dirinya dengan wakil yang fleksibel. Pemimpin yang penuh ide butuh mitra kerja yang kuat dalam eksekusi.

Menjadi otentik tidak berarti stagnan. Pemimpin yang baik tetap membuka diri untuk memperluas gaya dan pendekatannya sesuai tantangan yang dihadapi. Kepemimpinan yang hidup adalah kepemimpinan yang terus bertransformasi.

Penutup: Pemimpin Sekolah, Penjaga Iklim Emosional Komunitas

Sekolah bukan hanya tempat belajar bagi siswa, tetapi juga cermin dari kesehatan emosional pemimpinnya. Kepala sekolah yang mampu memimpin dirinya sendiri --- dengan kesadaran, empati, dan kendali emosi --- akan menciptakan ruang aman bagi guru dan siswa untuk tumbuh.

Self-leadership dan emotional intelligence bukan wacana elit akademik, tetapi keterampilan sehari-hari yang menentukan arah dan semangat sebuah komunitas pendidikan. Ketika pemimpin hadir secara utuh, ia menjadi pusat gravitasi yang memanusiakan, bukan sekadar mengatur.

Di tengah perubahan kurikulum, tekanan kinerja, dan kecemasan kolektif, sekolah membutuhkan pemimpin yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijak dan lembut hatinya. Pemimpin yang mampu berjalan masuk ke ruang rapat dan membawa kedamaian. Pemimpin yang tahu kapan harus tegas, kapan cukup diam, dan kapan memberi pelukan.

Dan semua itu dimulai bukan dari luar --- tapi dari dalam diri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun