Maka, menjadi sadar diri adalah syarat awal untuk membangun relasi yang sehat. Kepemimpinan bukan tentang pencitraan, melainkan tentang kehadiran. Dan kehadiran yang sejati hanya mungkin jika seseorang terlebih dahulu hadir bagi dirinya sendiri.
2. Mengelola Emosi: Kekuatan yang Menghidupkan atau Meluluhlantakkan
Dalam satu rapat dewan guru, Ibu Sari --- kepala sekolah di sebuah SMP negeri di pinggiran kota --- pernah marah besar karena merasa tidak dihargai. Ia meninggalkan ruang rapat tanpa kata. Esoknya, beberapa guru mengajukan mutasi. Kejadian itu membuatnya merenung dalam. Ia lalu mengikuti pelatihan manajemen emosi, dan menyadari betapa kuatnya dampak emosinya terhadap orang lain.
Mengelola emosi bukan berarti menekan atau menyembunyikan perasaan, melainkan mengakui, memahami, dan mengekspresikannya secara tepat. Emosi seperti marah, kecewa, dan takut adalah sinyal. Bila dikenali dengan bijak, ia bisa menjadi pintu masuk untuk memahami masalah yang lebih dalam --- baik dalam diri sendiri maupun organisasi.
Daniel Goleman menyebut pengelolaan diri (self-regulation) sebagai inti dari kepemimpinan yang stabil dan efektif. Pemimpin yang mampu mengelola emosinya akan lebih tahan terhadap tekanan, tidak mudah reaktif, dan mampu menciptakan suasana kerja yang kondusif (Goleman, 1995).
Di sekolah, emosi kepala sekolah bagaikan gelombang yang menyebar ke seluruh penjuru. Emosi positif bisa membangun semangat dan kebersamaan. Sebaliknya, emosi negatif yang tidak dikelola bisa menciptakan atmosfer penuh ketegangan. Inilah mengapa pengelolaan emosi bukanlah urusan personal semata, tetapi juga tanggung jawab sosial.
Menjadi pemimpin berarti siap menghadapi badai tanpa menjadi badai itu sendiri. Ini bukan soal menahan diri secara artifisial, melainkan menumbuhkan kedewasaan emosional melalui refleksi dan latihan batin yang terus menerus.
3. Empati sebagai Nafas Kepemimpinan Sekolah
Empati bukanlah kelembutan semata, tetapi kekuatan transformatif. Ketika seorang kepala sekolah mendengar cerita siswa yang kehilangan orang tuanya, atau guru yang tengah mengalami tekanan keluarga, dan mampu hadir dengan tulus --- tanpa menghakimi, tanpa buru-buru memberi solusi --- di situlah empati bekerja.
Empati memungkinkan pemimpin membangun hubungan autentik. Ini bukan relasi vertikal penuh kekuasaan, melainkan jejaring horizontal yang mengikat komunitas sekolah dalam kepercayaan. Di lingkungan seperti ini, guru merasa dihargai, siswa merasa didengar, dan perubahan menjadi mungkin karena semua merasa memiliki.
Penelitian membuktikan bahwa kepemimpinan yang berbasis empati meningkatkan loyalitas dan motivasi kerja (Avolio & Gardner, 2005). Dalam konteks pendidikan, empati juga menciptakan ruang aman bagi tumbuhnya inovasi dan keberanian mencoba hal baru.