Dalam dunia pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah di Indonesia, budaya organisasi sering kali dikaitkan dengan nilai-nilai kekeluargaan. Banyak sekolah menggunakan istilah "kami adalah keluarga besar" sebagai bentuk representasi dari hubungan yang erat antara guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik. Namun, apakah budaya "keluarga" ini benar-benar membawa dampak positif dalam konteks profesionalitas pendidikan? Ataukah justru lebih mendekati konsep paguyuban yang dapat mengaburkan batasan profesionalitas di lingkungan sekolah?
Budaya kekeluargaan yang terlalu kuat dapat menimbulkan budaya permisif. Sebagai contoh, dalam lingkungan di mana hubungan sosial lebih diutamakan daripada profesionalitas, kritik terhadap rekan kerja menjadi sulit dilakukan. Guru atau staf yang melakukan kesalahan mungkin tidak segera dikoreksi karena rekan sejawat merasa sungkan untuk menegur, takut disalah artikan sebagai tindakan yang merusak keharmonisan. Fenomena ini dapat menghambat evaluasi dan perbaikan berkelanjutan dalam sistem pendidikan.
Tulisan ini akan mengkaji lebih dalam mengenai tarik-menarik antara profesionalitas dan konsep paguyuban keluarga dalam budaya sekolah, serta bagaimana dampaknya terhadap sistem pendidikan.
Konsep Budaya "Keluarga" dalam Konteks Sekolah
Budaya "keluarga" di sekolah dapat diartikan sebagai ikatan sosial yang erat antara anggota komunitas sekolah yang didasarkan pada rasa kebersamaan, kepedulian, dan saling mendukung. Dalam konsep Tnnies (1887), hubungan sosial dapat dikategorikan menjadi Gemeinschaft (paguyuban) dan Gesellschaft (patembayan). Sekolah yang menerapkan budaya "keluarga" cenderung lebih dekat dengan konsep paguyuban (Gemeinschaft), di mana hubungan antarindividu lebih bersifat emosional dan informal.
Namun, dalam konteks sekolah sebagai lembaga pendidikan, diperlukan pula elemen Gesellschaft, yaitu sistem yang mengedepankan profesionalitas, aturan yang jelas, serta struktur organisasi yang efektif. Ketidakseimbangan antara kedua konsep ini dapat menimbulkan dilema dalam pengelolaan sekolah.
Secara psikologis, budaya "keluarga" dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi guru dan tenaga kependidikan. Teori Maslow (1943) tentang hierarki kebutuhan menunjukkan bahwa kebutuhan akan rasa memiliki dan diterima adalah faktor penting dalam kinerja seseorang. Dengan adanya lingkungan yang mendukung, individu merasa lebih termotivasi untuk bekerja dan berkontribusi.
Dari perspektif sosiologis, Durkheim (1893) menekankan pentingnya solidaritas sosial dalam institusi pendidikan. Solidaritas mekanik yang berbasis nilai-nilai tradisional cenderung lebih kuat dalam sistem paguyuban, sedangkan solidaritas organik lebih dominan dalam sistem patembayan yang berbasis profesionalisme dan spesialisasi peran.
Di sisi lain, manajemen organisasi modern lebih menekankan pentingnya sistem berbasis profesionalitas. Menurut Drucker (1993), organisasi yang efektif harus memiliki standar kerja yang objektif, mekanisme evaluasi yang jelas, serta struktur hierarki yang fungsional. Jika sekolah terlalu berorientasi pada kekeluargaan, ada risiko bahwa aspek profesionalisme dalam manajemen pendidikan dapat terpinggirkan.
Dalam kajian ekonomi pendidikan, teori kapital manusia dari Becker (1964) menunjukkan bahwa pengembangan sumber daya manusia dalam dunia pendidikan harus berbasis pada kompetensi dan produktivitas. Budaya kekeluargaan yang terlalu menekankan hubungan sosial dapat menghambat inovasi dan pengembangan kompetensi individu karena lebih mengutamakan harmoni daripada kinerja.
Dari perspektif etika profesional, Etzioni (1975) berpendapat bahwa organisasi profesional harus memiliki standar moral dan kode etik yang jelas. Dalam konteks sekolah, standar ini mencakup objektivitas dalam evaluasi, keterbukaan dalam komunikasi, serta transparansi dalam pengambilan keputusan.