Dalam lingkungan berbasis paguyuban, kerja sama antarindividu lebih mudah terjalin karena adanya rasa keterikatan yang erat. Di sekolah, ini meningkatkan kerja sama dalam pengembangan kurikulum, penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler, serta perencanaan strategi pembelajaran yang lebih efektif.
Kolaborasi yang baik antara guru dan tenaga kependidikan memungkinkan pertukaran ide yang lebih dinamis. Hal ini mendorong inovasi pendidikan, di mana metode pengajaran yang lebih variatif dan interaktif dapat diterapkan demi meningkatkan kualitas pembelajaran.
Tantangan dan Risiko Budaya "Keluarga" di Sekolah
-
Pengaburan Batasan Profesionalitas Studi dari Kahn (1990) menunjukkan bahwa terlalu dekatnya hubungan sosial di tempat kerja dapat menyebabkan konflik peran dan batasan yang tidak jelas antara tugas profesional dan hubungan personal. Dalam konteks sekolah, guru yang terlalu lekat dengan konsep kekeluargaan dapat mengalami kesulitan dalam memberikan penilaian objektif kepada peserta didik atau dalam mengambil keputusan profesional.
Ekspektasi Loyalitas yang Berlebihan Budaya "keluarga" dalam organisasi sering kali mengasumsikan bahwa anggota komunitas harus memiliki loyalitas tinggi tanpa mempertimbangkan aspek profesionalitas. Ini bisa menyebabkan guru atau staf merasa tertekan untuk bekerja lebih dari jam kerja tanpa kompensasi yang sesuai, sebagaimana dijelaskan dalam penelitian Hochschild (1983) tentang "emotional labor".
Kesulitan dalam Memberikan Evaluasi Kritis Dalam lingkungan yang sangat mengutamakan harmoni seperti "keluarga", kritik seringkali dihindari karena dikhawatirkan akan merusak hubungan sosial. Argyris & Schn (1974) menjelaskan bahwa organisasi yang terlalu menekankan hubungan interpersonal dapat menghambat proses pembelajaran organisasi karena kurangnya evaluasi yang konstruktif.
Relasi Kuasa yang Tidak Seimbang Metafora "keluarga" sering kali memperkuat hierarki yang tidak sehat di dalam organisasi. Kepala sekolah atau pimpinan bisa dipandang sebagai "orang tua" yang memiliki kuasa penuh atas "anak-anaknya" (guru dan staf). Model kepemimpinan ini dapat mengurangi ruang bagi dialog terbuka dan inovasi, sebagaimana diungkapkan oleh Bass (1990) dalam teori kepemimpinan transformasional.
Menuju Keseimbangan: Profesionalitas dalam Budaya Sekolah
Menghadapi dilema ini, sekolah perlu menyeimbangkan pendekatan paguyuban dengan profesionalitas agar tetap memiliki lingkungan yang suportif tanpa mengorbankan aspek akademik dan administratif. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
Menetapkan Batasan yang Jelas Sekolah perlu memiliki kebijakan yang jelas mengenai peran dan tanggung jawab setiap individu, termasuk jam kerja, mekanisme evaluasi kinerja, serta prosedur pemberian kritik dan umpan balik.
Membangun Budaya Komunikasi Terbuka Model komunikasi yang berbasis profesionalisme harus diterapkan tanpa menghilangkan aspek kepedulian dan empati. Hal ini memungkinkan kritik yang membangun tetap dapat diberikan tanpa mengorbankan hubungan baik.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!