Coba kita lihat. Kota-kota di Indonesia umumnya menangani sampah---termasuk plastik dengan cara membuangnya ke TPA (tempat pembuangan akhir). Semua jenis sampah teraduk disana. Sudahlah bau, tidak menjadi apa-apa pula.Â
Sampah itu sedikit berkurang karena ada pemulung yang mengais-gaisnya dari tumpukan, mencari barang yang laku dijual untuk selanjutnya dibawa ke pelapak barang bekas/rongsokan.Â
Sampah yang sudah dibuang jauh, masuk lagi ke kota. Sampah itu hanya berpindah-pindah tempat saja. Mulanya, sampah itu keluar dari rumah-rumah penduduk, toko, bengkel, rumah sakit, pasar, atau bahkan pabrik.Â
Kemudian berbagai jenis armada dinas kebersihan atau dinas lingkungan hidup mengangkutnya dari gang ke jalan, dari jalan kecil ke jalan poros, kemudian berakhir di TPA.Â
Berapa anggaran pemerintah daerah untuk menggaji pegawai tetap atau honor yang bekerja untuk membereskan sampah itu setiap bulannya? Pasti banyak.
Belum lagi memelihara armada-armada yang mereka pakai setiap hari untuk mengakut sampah. Armada-armada itu perlu biaya perawatan agar bisa bekerja terus-menerus mengakut sampah. Sifat sampah akumulatif, terlambat mengangkut sampah, persoalannya bukan saja estetika namun juga berdampak pada kesehatan manusia.
Armada-armada itu juga perlu diberi 'minum' bensin atau solar agar bisa beroperasi. Semua effort itu berakhir di TPA.Â
Pada kasus kota besar seperti Jakarta yang tidak memiliki lagi ruang untuk membuang sampahnya, harus pinjam lokasi tetangga. Tentu bayar, termasuk membayar kompensasi macet dan baunya.Â
Bagaimana mungkin kita bisa melawan plastik? Dengan menerapkan plastik berbayar? Konsumen tidak terlalu rugi membayar 1.000 atau 2.000 rupiah untuk satu kantong plastik.Â
Melawan kantong plastik dengan tote bag? Tidak selalu praktis, orang belanja ke warung membeli 3-4 jenis keperluan jarang bawa tote bag. Upaya mengurangi penggunaan kantong plastik dengan tote bag mungkin ada manfaatnya, namun tantangannya terletak pada perilaku kita yang berlum siap dengan itu.Â