Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Lawan Plastik! Tapi Bagaimana Caranya?

15 November 2019   04:23 Diperbarui: 15 November 2019   09:25 4223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya mulai mendaur ulang plastik tujuh tahun lalu, tepatnya tahun 2012. Memulai usaha daur ulang plastik adalah salah satu keputusan besar yang pernah saya buat dalam hidup saya. 

Modalnya tidak sedikit, saya mengeluarkan lebih 100 jutaan untuk dapat memulai usaha itu. Menaruh uang sebanyak itu dalam bisnis yang kita belum mengerti, bisa membawa resiko besar. 

Coba banyangkan, jenis-jenis plastik saja saya belum tahu. Masih awan, plastik yang saya tahu hanyalah kantong plastik, karung plastik, polybag, plastik gula, pembungkus jajajanan anak-anak, pokoknya plastik yang sehari-hari ada di rumah atau di sekitar kita.

Belakangan baru saya tahu, dari ratusan produk berbahan plastik dengan beragam bentuk dan ukurannya, plastik telah digolongkan ke dalam 7 jenis dengan sistem penomoran 1-7. 

Nomor 1 berarti polyethylene terephthalate disingkat PET atau PETE. Kode nomor 2 berarti high density polyethylene disingkat HDPE. Kode nomor 3 berarti polyvinyl chloride disingkat PVC. Kode nomor 4 berarti low density polyethylene disingkat LDPE. Kode nomor 5 berarti polyprohylene disingkat PP. Kode nomor 6 berarti polystryrene disingkat PS. 

Kode nomor 7 disebut other namun biasanya berbahan polycarbonate. Kode ini bisa kita lihat di bagian produk, misalnya kalau botol plastik dicantumkan pada bagian bawahnya.

Kadang kala, kita memiliki ide atau idealisme tertentu yang mengebu-gebu, namun masih buta cara untuk mewujudkannya. Ibarat orang yang salah naik trayek bis, kita memang bergerak, namun tidak sampai ke tujuan, hingga kita kemudian menyadarinya, lalu bertanya dan naik bis dengan trayek yang benar. 

Trayek bis yang akan membawa kita bertemu dengan tujuan. Kurang lebih seperti itulah saya mulai usaha daur ulang plastik. Belajar otodidak, namun bukan paman Google yang membuat saya mengenali jenis plastik serta tahu cara menggolong-golongkannya dengan benar. Saya belajar dari pemulung barang rongsokan. Pemulung adalah guru pertama saya waktu memulai usaha daur ulang plastik.

Setelah usaha berjalan, kemudian mulai mendaur ulang plastik mula dari 1 ton, 2 ton, 3 ton per bulan, ada perasaan bangga. Yes, saya bisa!. Bangga.

Namun rasa bangga tidak membuat piring anak-istri di rumah terisi otomatis, itu dua hal yang berbeda. Usaha harus untung agar piring anak-istri bisa terisi dengan nasi.

Jika dulu usaha daur ulang plastik saya jalankan dengan idealisme seperti itu yakni, membuat sampah menjadi bernilai, sekarang saya dapat mengerti lebih jauh lagi, walaupun cara pandang yang dulu masih relevan juga saat ini.

Coba kita lihat. Kota-kota di Indonesia umumnya menangani sampah---termasuk plastik dengan cara membuangnya ke TPA (tempat pembuangan akhir). Semua jenis sampah teraduk disana. Sudahlah bau, tidak menjadi apa-apa pula. 

Sampah itu sedikit berkurang karena ada pemulung yang mengais-gaisnya dari tumpukan, mencari barang yang laku dijual untuk selanjutnya dibawa ke pelapak barang bekas/rongsokan. 

Sampah yang sudah dibuang jauh, masuk lagi ke kota. Sampah itu hanya berpindah-pindah tempat saja. Mulanya, sampah itu keluar dari rumah-rumah penduduk, toko, bengkel, rumah sakit, pasar, atau bahkan pabrik. 

Kemudian berbagai jenis armada dinas kebersihan atau dinas lingkungan hidup mengangkutnya dari gang ke jalan, dari jalan kecil ke jalan poros, kemudian berakhir di TPA. 

Berapa anggaran pemerintah daerah untuk menggaji pegawai tetap atau honor yang bekerja untuk membereskan sampah itu setiap bulannya? Pasti banyak.

Belum lagi memelihara armada-armada yang mereka pakai setiap hari untuk mengakut sampah. Armada-armada itu perlu biaya perawatan agar bisa bekerja terus-menerus mengakut sampah. Sifat sampah akumulatif, terlambat mengangkut sampah, persoalannya bukan saja estetika namun juga berdampak pada kesehatan manusia.

Armada-armada itu juga perlu diberi 'minum' bensin atau solar agar bisa beroperasi. Semua effort itu berakhir di TPA. 

Pada kasus kota besar seperti Jakarta yang tidak memiliki lagi ruang untuk membuang sampahnya, harus pinjam lokasi tetangga. Tentu bayar, termasuk membayar kompensasi macet dan baunya. 

Inisiasi program daur ulang plastik dengan melibatkan BAPPEDA Pohuwato dan instansi terkait (Marahalim Siagian/Burung Indonesia)
Inisiasi program daur ulang plastik dengan melibatkan BAPPEDA Pohuwato dan instansi terkait (Marahalim Siagian/Burung Indonesia)
Dibalik semua diskursus publik tentang bahaya sampah plastik bagi lingkungan dan bagi hidupan satwa liar (burung, penyu, ikan dan lainya) sesungguhya, kita tidak bisa melawan plastik. 

Bagaimana mungkin kita bisa melawan plastik? Dengan menerapkan plastik berbayar? Konsumen tidak terlalu rugi membayar 1.000 atau 2.000 rupiah untuk satu kantong plastik. 

Melawan kantong plastik dengan tote bag? Tidak selalu praktis, orang belanja ke warung membeli 3-4 jenis keperluan jarang bawa tote bag. Upaya mengurangi penggunaan kantong plastik dengan tote bag mungkin ada manfaatnya, namun tantangannya terletak pada perilaku kita yang berlum siap dengan itu. 

Melawan botol plastik dengan tumbler? Sama seperti tote bag-tidak selalu praktis serta perilaku kita belum siap dengan itu. Kita belum terbiasa membawa botol air minum sendiri dari rumah untuk di isi ulang sebagai wadah air minum sendiri , setiap hari. Jika pun hal itu bisa dimasyarakatkan, sistemnya belum terbentuk. 

Masih jarang ada stasiun penyedia air layak minum di perkotaan, pemukiman semi-urban, apalagi di pedesaan. Agar cara yang baru diintrodusir tersebut berhasil, masih butuh waktu lama.

Selama apa? Tergantung seberapa cepat kita bisa merubah perilaku masyarakat.

Namun, apakah itu sungguh-sungguh solusi dari masalah ini? Mungkin tidak. 

Faktanya juga mengatakan tidak. Kampanye anti plastik yang digaungkan belakangan ini dalam waktu bersamaan, data konsumsi plastik Indonesia justru trennya mengalami kenaikan.

Tahun 2017, konsumsi plastik industri dalam negeri Indonesia naik 5,4 % atau 5,6 juta ton (www.industri.bisnis.com, 7 Desember 2017. 'Konsumsi Plastik di Dalam Negeri Naik 5,4 %').

Memilah dan menggolongkan plastik berdasarkan jenisnya (Marahalim Siagian)
Memilah dan menggolongkan plastik berdasarkan jenisnya (Marahalim Siagian)
Mengapa sulit tanpa plastik? Puluhan pabrik deterjen mau mengemas produknya dengan bahan apa?, Puluhan perusahaan produsen shampo sachet mau mengganti kemasan produk mereka dengan bahan apa? 

Pembukus plastik yang dipakai untuk kemasan makanan dan minuman mau disubtitusi dengan apa? Siapa yang mau pakai helm berbahan kaleng atau besi? Mungkinkan semua jenis kendaraan diproduksi menggunakan bahan dari besi? 

Belum lagi peralatan rumah tangga yang jenisnya dan bentuknya ada ratusan. Selang air yang bisa bisa ditarik dan digulung secara praktis akan diganti dengan apa? Wadah cat diganti dengan apa, dan seterusnya.

Proses pencacahan plastik (Doc. Marahalim Siagian)
Proses pencacahan plastik (Doc. Marahalim Siagian)
Sekalipun kita berhasil dengan semua kampanye anti-plastik, konsumsi aluminium, besi, kaca, karet, praktis akan naik sehingga akan menimbulkan masalah yang sama. 

Barangkali hal yang perlu kita perbaiki adalah cara kita berproduksi dengan memperpanjang siklus barang yang kita gunakan. Apakah itu plastik, kaca, besi, karet, kertas dan lainnya.

Cara produksi kita sekarang masih dominan: take-create-use-pollution. Suatu barang dibuat menggunakan bahan baku dari alam, kemudian barang tersebut diciptakan di pabrik, kita gunakan, setelah rusak lalu terbuang dan menjadi sampah yang menimbulkan polusi. Para ahli mengenali cara produksi itu sebagai ekonomi linier. 

Plastik yang sedang dikeringkan (Dokpri)
Plastik yang sedang dikeringkan (Dokpri)
Cara produksi seperti ini membuat lingkungan kita menjadi reservoir untuk semua limbah yang kita hasilkan. Anti-tesisnya (solusi) adalah dengan meminimalkan penggunaan input sumberdaya, penciptaan limbah, polusi, emisi, serta pemborosan sumberdaya dengan cara memperpanjang usia sebuah produk. 

Apakah itu plastik, kertas, karet, kaca, besi, dan bahan lainnya dengan cara memperpanjanag siklus sebuah benda/barang melalui: recycle-remake-reuse. Mari kita buang lebih sedikit dan olah lebih banyak sampah.

Kita lakukan ini pada kertas, plastik, kaca, karet, besi, serta bahan lainnya yang bahan bakunya dari alam. Inovasi dan teknologi akan menolong kita untuk melakukan ini.

Plastik dilihat dalam moda produksi sircular economy (Marahalim Siagian)
Plastik dilihat dalam moda produksi sircular economy (Marahalim Siagian)
Tahun lalu, daur ulang plastik untuk skala kabupaten dapat kami implementasikan di Kabupaten Pohuwato, Propinsi Gorontalo. Menggunakan pengalaman sebelumnya, didukung Pemda Pohuwato, Perhimpunan Burung Indonesia, upaya ini dapat dijalankan lebih cepat-sekitar 3 bulan, dengan cakupan program yang lebih luas. 

Apakah pemulung dan sistem bank sampah tidak lagi relevan? Hemat saya tetap relevan, bahkan akan menjadi bagian dari rantai pasok usaha atau program yang mendukung cara produksi yang berkelanjutan- ekonomi sirkular ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun