Mohon tunggu...
Andri Setiawan
Andri Setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Aku Membaca Maka Aku Ada

Kemampuan terbesar manusia adalah bergosip dan berimajinasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Relevansi Antara Konsep Ibnu Khaldun dengan Sosial Politik Indonesia Menuju Perubahan Kekuasaan Tahun 2024"

19 Juni 2021   22:47 Diperbarui: 19 Juni 2021   23:42 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kritikannya bahwa "penguasa Negara bukanlah pemimpin yang mendapatkan kekuasaan dari Tuhan" menyebabkan Ibnu Khaldun di penjara selama 2 tahun di Maroko. Selama kurang lebih dua dekade aktif dunia politik, serta menyaksikan penyusutan peradaban dan perpecahan dunia Islam. Hal ini yang mendorong Ibnu Khaldun menganalisa sebab-sebabnya dan meneliti kekacauan politik yang terjadi di Afrika Barat Laut (Lauer, 2003).

Sebagaimana diulas dalam buku Pengantarnya, Muqaddimah. Konsepsi sejarah pra Ibnu Khaldun lebih banyak menyajikan peristiwa sejarah, sementara latar belakang yang melahirkan sejarah tersebut mereka lupakan. Berbeda dengan mereka, Ibnu Khaldun justru mengkaji apa yang melatarbelakangi suatu peristiwa, yang dalam konsepsi Ibnu Khaldun dikenal dengan  Thaba'i al-Umran (dinamika internal sosial masyarakat). Di antara yang menjadi fokus kajian Ibnu Khaldun, yang dipandang sebagai salah satu hal yang melahirkan sejarah perpolitikan masa itu di dunia  Arab Islam khususnya adalah Ashobiah dan inilah yang menjadi obyek analisis penulis saat ini.

Konsep Ashabiyyah di Indonesia (Solidaritas Sosial dan Politik)

Gagasan Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa asal mula suatu negara ditimbulkan karena kodrat manusia yang tidak hanya sebagai makhluk individu tetapi juga sebagai makhluk sosial (zoon politicon) dan yang memiliki kepentingan dan kebutuhan masing-masing. Untuk memenuhi kebutuhan itu, manusia membutuhkan kerjasama yang terakomodasi dalam bentuk organisasi yang di dalamnya terdapat aturan yang disepakati. Dalam konteks ini, maka negara sangat berperan. Di Indonesia, negara menjalankan fungsinya sebagai organisasi yang mengatur semua tata kehidupan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dan ketentraman.

Di dalam menjalankan fungsinya, negara harus dipimpin oleh seorang kepala negara. Konsep kepala negara yang di cita-citakan oleh Ibnu Khaldun haruslah seorang yang berilmu, adil, mampu, sehat, dan dari keturunan Quraiys. Jika konsep ini diterapkan di Indonesia maka sangatlah tepat dan relevan, kendati harus dilakukan reaktualisasi dan rekontekstualisasi dalam konteks ke-Indonesia-an. Kepala negara yang akan memimpin bangsa Indonesia haruslah orang yang memiliki integritas keilmuan yang tinggi. Mustahil seorang dapat menjalankan fungsi kepemimpinannya secara optimal jika tidak mempunyai perangkat keilmuan. Kontekstualisasi dari syarat 'dari keturunan Quraiys' adalah bahwa kapal negara atau pemerintah harus mempunyai kewibawaan dan mendapatkan legitimasi dan kepercayaan dari masyarakat. Suatu pemerintahan yang tidak legitimate akan mendapatkan kendala dalam menjalankan tugasnya.

Bagi Ibnu Khaldun, idealnya suatu negara secara formal untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran, namun ia juga tidak menutup realitas bebrapa negara yang dapat berkembang secara progresif, mandiri, dan mencapai kesejahteraan tanpa harus berasaskan Islam secara formal. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia sebagai negara yang plural, multikultural, dan multirelijius, tidak mutlak harus berdasarkan Islam tetapi nilai-nilai Islam yang menjadi ruh (soul) dan jiwa (spirit) dari peraturan dan sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia.


Dalam konteks penerapan syariat Islam di Indonesia misalnya, maka sangat sulit diejawantahkan, karena kondisi geografis dan kultur masyarakat Indonesai jauh berbeda dengan kondisi masyarakat Arab ketika ayat al-Qur'an diturunkan. Dengan demikian, bagaimanapun bentuk peraturan dan sistem ketatanegaraan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam secara substantif bukan menjadi hal yang signifikan.

Bagi Ibnu Khaldun sendiri tidak terlalu mempersoalkan apakah negara itu harus mengikuti sistem pemerintahan Islam seperti pada masa Rasulullah dan para sahabatnya. Yang paling esensi baginya adalah bahwa tujuan diadakannya negara untuk melindungi rakyat dan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran tercapai, dengan tetap mengapresiasi dan mengakomodasi nilai-nilai universal Islam yang diturunkan Allah melalui Rasul-Nya. Itu semua memiliki tujuan agar ajaran Islam yang komprehensif, universal dan berjiwa rahmatan li al-'lamn tidak mengalami kejumudan (stagnancy) jika didialogkan dengan kondisi nyata sosio-kultur masyarakat pada saat ini.

Teori Siklus


Pokok pikiran Ibnu Khaldun yang terpenting adalah teori sejarah masyarakat manusia sebagai proses yang tak berujung (unlimited proses), berputar dan melengkung terus menerus itulah yang oleh ilmuwan menyebutnya dengan teori lingkaran atau teori siklus. Teori ini dibangun berdasarkan penelitian pada rangkaian proses sejarah masyarakat sosial-politik, secara praktis Ibnu Khaldun juga terlibat dalam proses sejarah tersebut.


Berdasarkan kajian yang tertuang dalam buku Muqqddimah, teori siklus ini dapat diklasifikasi sebagai berikut:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun