Catatan Diskusi Budaya #4: Menjaga Kearifan Budaya di Hadapan Kerusakan Ekosistem
Pada Jumat malam, 26 September 2025, Caf Luang Persona di Kota Cilegon, Banten  bukan hanya sebuah tempat ngopi biasa. Malam itu, kafe mungil dengan lampu temaram dan aroma biji kopi yang baru digiling berubah menjadi ruang refleksi kolektif. Kursi-kursi kayu yang disusun melingkar seolah menghadirkan suasana ruang tamu: hangat, akrab, tapi juga serius. Orang-orang datang dengan mata penuh rasa ingin tahu, seperti mahasiswa, aktivis, seniman, bahkan warga biasa yang mungkin hanya kebetulan mendengar kabar acara. Mereka semua berkumpul untuk sebuah diskusi dengan judul panjang tapi menyentuh: "Menjaga Kearifan Budaya di Hadapan Kerusakan Ekosistem."
Diskusi Budaya #4, demikian ia disebut, diinisiasi oleh Mang Pram, pendiri Sekumpul Edu Creative, dan Indra Kusuma dari Studio Seni Cilegon. Keduanya bekerja sama dengan Walhi Jakarta dan Rhizoma Indonesia untuk menjahit ruang perbincangan yang terasa makin langka dalam membicarakan tentang budaya, tentang alam, dan tentang kota yang sedang kehilangan keduanya.
Tema besar malam itu sesungguhnya sederhana namun mendesak: bagaimana industrialisasi, khususnya di Cilegon, Banten, bukan hanya merusak ekosistem, tetapi juga menggerus akar kearifan budaya masyarakat. Seperti dua sisi dari satu koin, ekologi dan budaya terhubung erat. Ketika tanah, air, dan udara tercemar, maka tradisi yang hidup darinya ikut melemah.
Cilegon, dari Kota Santri ke Kota Asap
Suara pertama malam itu datang dari Muhammad Ibrohim Aswadi, tokoh masyarakat Cilegon yang dikenal dekat dengan akar rumput. Dengan nada lirih tapi tegas, ia membuka percakapan. "Secara fundamental, Cilegon adalah kota santri," ucapnya. Ia lalu membawa hadirin ke masa lalu, ketika sawah terbentang, ketika pesantren tumbuh subur, dan ketika keseharian masyarakat berjalan dalam harmoni dengan alam.
Kini, semua itu tinggal kenangan. Gelombang industrialisasi menjadikan Cilegon pusat industri baja dan energi. Pabrik-pabrik raksasa berdiri megah, mengubah wajah kota sekaligus nasib warganya. Ironisnya, meski investasi mengalir deras, warga lokal kerap kesulitan mendapatkan pekerjaan layak di industri tersebut. "Kapitalisme global ini masa bodoh dengan lingkungan," tegas Ibrohim. Kalimat itu seperti menampar kesadaran bersama: bahwa keuntungan segelintir pihak seringkali dibayar mahal dengan hilangnya ruang hidup masyarakat.
Bagi Ibrohim, cerita Cilegon adalah metafor lebih besar tentang Indonesia: pembangunan yang gemar menukar tanah subur dan tradisi panjang demi mesin-mesin pabrik. Ia menggambarkan dengan getir bagaimana masyarakat yang dulu hidup dari pertanian dan tradisi kini tercerabut, dipaksa berhadapan dengan asap, polusi, dan ketidakpastian.
Bukan Hanya Alam yang Digusur, Tapi Akar Budaya yang Tercabut