Malam menggantung berat di atas Pantai Tanjung Peni. Angin berembus panas, membawa keresahan dari laut yang tak lagi teduh. Di balik pagar besi dan bayang-bayang pabrik, langit Cilegon memerah oleh semburan api dari cerobong milik PT Lotte Chemical Indonesia (PT LCI).
Proses flaring atau pembakaran gas sisa ini tak hanya memancarkan cahaya terang, tapi juga menyisakan tanya soal dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan warga.
Dari bibir Pantai Tanjung Peni, hanya sepelemparan batu dari lokasi pabrik, kobaran api terlihat jelas. Flaring menyala seperti obor raksasa, menyembur dan mendesis tanpa henti. Suhu meningkat, suara berdesis kencang mengganggu ketenangan malam.
Flaring ini merupakan bagian dari startup kilang, proses awal saat fasilitas kimia mulai dioperasikan. Namun, kenyataan di lapangan jauh dari sekadar teknis. Tak nyaman, panas, bising.
PT LCI telah melakukan flaring sejak pertengahan Mei, dan dikonfirmasi akan berlanjut setidaknya hingga awal Juni. Artinya, warga sekitar akan terus terpapar asap dan panas dari gas yang dibakar.
Cahaya dari flaring bahkan terlihat jelas dari berbagai penjuru kota dan perairan Selat Sunda. Langit malam memerah, bukan oleh bulan, tapi oleh gas industri yang menyala terang.
Polusi udarameningkat. Data dari IQAir, dikutip dari Banten Pos (28 Mei 2025), menunjukkan lonjakan signifikan partikel polutan PM2.5 sejak flaring dimulai:
- 20 Mei: 25.2 g/m
- 21 Mei: 28.2 g/m
- 28 Mei: turun ke 12.1 g/m
Penurunan ini bersifat sementara. Prediksi menunjukkan potensi lonjakan kembali dalam beberapa hari mendatang.
PM2.5 adalah partikel halus berbahaya yang bisa menembus saluran pernapasan hingga ke aliran darah, memicu penyakit jantung, paru-paru, bahkan kanker. Anak-anak, lansia, dan penderita asma adalah kelompok paling rentan.
Sayangnya, sistem pemantauan udara di Cilegon masih terbatas. Kesadaran masyarakat terhadap bahaya ini pun belum merata.