"Tapi kenyataannya? Mereka bangun di dekat sumur kami," ujarnya geram.
Kekhawatiran Irsyad, pencemaran air tanah oleh limbah batu bara bisa terjadi dalam hitungan bulan atau tahun ketika fasilitas penyimpanan itu sudah beroperasi.Â
"Jika ada retakan kecil di dasar atau sistem drainase yang bocor, limbah ini bisa saja meresap ke tanah dan mencapai sumber air warga," katanya.
Beberapa studi menunjukkan bahwa partikel halus dari FABA bisa terbawa angin dan mencemari udara serta tanah sekitar. Irsyad khawatir jika hujan turun, material ini dapat mengendap dan masuk ke dalam sumur warga melalui perembesan tanah.
"Kami masih menggunakan air sumur untuk minum, memasak, dan mencuci. Kalau tercemar, kami harus beli air bersih. Itu beban baru bagi kami," keluh Irsyad.
Lalu, warga semakin was-was adalah minimnya transparansi dari pihak industri. Sejauh ini, belum ada penjelasan resmi mengenai bagaimana limbah ini akan dikelola agar tidak mencemari lingkungan.
Sikap tertutup seperti ini bukan pertama kali terjadi dalam proyek-proyek industri besar. Tanpa dialog dengan warga, rasa curiga semakin dalam, dan potensi konflik bisa saja muncul di kemudian hari.
"Kalau sumur sudah terlanjur tercemar, apakah mereka akan bertanggung jawab?" tanya Irsyad, yang kini semakin skeptis.
Keberadaan PLTU Suralaya Unit 9-10 mungkin membawa manfaat ekonomi bagi sebagian orang, tetapi bagi warga sekitar, dampak lingkungannya menjadi harga yang terlalu mahal untuk dibayar.
Kini, warga hanya bisa menunggu dan berharap, bahwa tembok beton raksasa di depan rumah mereka tidak menjadi awal dari bencana yang lebih besar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI